Laman

Rabu, 05 Desember 2018

Menjadi Notulis dalam Konferensi Kepala Sekolah Mitra Goethe-Institut se-Indonesia


Menjadi Protokollant/ notulis?
Amanat yang dipercayakan PASCH-Team kepada saya ini saya kerjakan dengan sebaik-baiknya. Mencatat detail peristiwa dan menuliskannya kembali untuk mengabadikannya, hal ini sesuai dengan filosofi dari Om Pram, "Menulis adalah bekerja untuk keabadian".

Selamat membaca penggalan notula ini, mudah-mudahan hasilnya cukup berkenan ya!

***

...

          Kegiatan yang dilaksanakan di Ruang Mezzanine ini dibuka jam 09:13 oleh Larissa. Larissa membuka kegiatan pertemuan kepala sekolah mitra ini dalam bahasa Indonesia, menyampaikan selamat datang. Larissa kemudian memperkenalkan wajah baru di tim PASCH, kemudian Herr Ade  pun naik ke panggung untuk memperkenalkan dirinya.
            Herr Ade menceritakan bahwa dirinya baru bergabung sekitar 7 bulan, nantinya diplot untuk menggantikan Frau Ekadewi yang  sudahmulai memasuki usia pensiun. Herr Ade mempunyai nama Jerman Schuetz karena istrinya merupakan orang Jerman.
            Tak lupa, Larissa kemudian memperkenalkan timnya yang lain yaitu Frau Neza, Frau Rasti, Tim Fedke dan Lisa Rubin. Adapun kedua nama terakhir merupakan Praktikant di Goethe-Institut yang diperbantukan di tim PASCH. Karena sedang dinas luar, Larissa juga menyampaikan permohonan maaf dari Lisa Rubin karena tidak bisa ikut bergabung di acara ini. Sambil bercanda Larissa menyampaikan di akhir sambutannya, "Demikian sambutan dari saya dnengan bahasa yang membingungkan, selanjutnya saya serahkan acara kepada Herr Ade".
             PASCH sudah berusia 10 tahun, sejak dicetuskan pertama di tahun 2008 lalu. Herr Ade melakukan Ice-Breaking dengan menanyakan, "Adakah di antara peserta di sini yang sudah 10x mengikuti kegiatan?". Beberapa peserta saling melihat satu dengan lainnya, sepertinya tidak ada. Justru ketika Herr Ade melempar pertanyaan, "Siapa baru pertama kali ikut kegiatan ini?" ternyata tidak sedikit yang mengacungkan jari.
            Herr Ade pun kemudian mempersilakan kepada Frau Sonja Stoll dari Kepala Bagian Bahasa Goethe Institut untuk kawasan SAN (Asia Tenggara, Australia, dan Selandia Baru) untuk menyampaikan sambutannya. Frau Stoll kemudian menyampaikan sambutannya dalam bahasa Inggris, menimbang hampir semua kepala sekolah mitra tidak bisa berbahasa Jerman. Dalam sambutannya, Frau Stoll menyampaikan bahwa kegiatan ini bagus untuk pelestarian bahasa asing, termasuk dalam rangka menjadi solusi bagi permasalahan Jerman, dan juga untuk mindset dan kesempatan anak muda untuk menyiapkan masa depan globalisasi. Di kesempatan ini Frau Stoll juga mengucapkan selamat datang kepada sekolah ke-29 PASCH di Indonesia, yaitu SMA Katolik Frateran Maumere. Di akhir sambutannya, Frau Stoll menyatakan sangat antusias dengan acara Gala Dinner Kedutaan Jerman dengan para kepala sekolah pada hari Jumat dan seperti rutin setiap tahunnya - pembaharuan MoU antara sekolah dengan Goethe Institut pada hari Sabtu.
            Sambutan-sambutan pun telah disampaikan. Herr Ade kembali menjadi MC dan menyebutan susunan acara dalam Kegiatan Konferensi Kepala Sekolah Mitra (PASCH) tahun 2018 ini. Kerja sama dengan PASCH ini memang suatu hal yang eksklusif karena hanya dijalin dengan 29 sekolah mitra se-Indonesia (jumlahnya tetap, sulit untuk bertambah). Di kegiatan konferensi ini, selama 3 hari ke depan kita akan melakukan evaluasi terhadap kegiatan PASCH yang sudah terlaksana di tahun 2018 dan merencanakan kegiatan untuk tahun 2019. Selain itu, juga akan ada acara resepsi dengan pihak kedutaan seperti yang sudah disampaikan oleh Frau Stoll, pameran marketplace program-program dengan partner PASCH yang bisa menunjang siswa/ alumni sekolah, maupun seminar dari Kementerian Pendidikan.
            Herr Ade segera menyebutkan daftar kegiatan yang sudah dilaksanakan di tahun 2018, yang sudah dihimpun bersama dengan para koordinator guru Bahasa  Jerman, di antaranya Winter - Jugendkurs dan Sommer - Jugendkurs, program Ujian Level Bahasa Jerman Fit in Deutsch, termasuk bagaimana Goethe juga membantu menyiapkan siswa di level B1 dan B2, baik menggunakan kelas online maupun kelas tatap muka, termasuk menyiapkan beasiswa untuk siswa-siswi yang mendapatkan nilai tertinggi saat ujian.

            Kegiatan lain yang sudah terlaksana adalah Lomba PASCH-net, di mana siswa SMAN1 Matauli Pandan berhasil memenangkannya dan mendapatkan paket buku, tablet (komputer), kamera, dan beasiswa parsial di Jerman. Disebutkan pula bahwa sudah terlaksana keigiatan Workshop Digital Literacy untuk melawan hoax yang salah satu pembicaranya adalah Anja van Kampen. Begitu juga dengan kegiatan Bengkel Teater di Bali yang melibatkan siswa dari Australia dan Indonesia.
            Kegiatan PASCH untuk guru, PASCH menyediakan kursus, pemberangkatan ke Jerman dan pelatihan, seminar tentang NAZI, dan proyek buku ajar. PASCH juga tak lupa memberikan pelatihan metode mengajar Bahasa Jerman tingkat kawasan SAN kepada 15 guru dengan level bahasa B2.
            Untuk kepala sekolah, PASCH di tahun 2018 tak lupa memberikan konferensi Language Open Door Perspective with German yang dihadiri oleh 15 kepala sekolah se-Indonesia dan penyelenggaraan kegiatan yang sedang berlangsung ini pun, ditujukan untuk kepala sekolah.

            Tak hanya berhenti sampai di level institusi sekolah, PASCH pun juga masih mengurusi para alumninya. Yang disebut sebagai alumni di sini adalah seluruh siswa yang lulus dari sekolah mitranya. Tercatat ada 4 beasiswa yang diberikan di Studienkolleg Indonesia, penyelenggaraan Webinar terkait kerja di Jerman, bagaimana cara mendaftar kerja praktek, dan lamaran kerja. Termasuk pendampingan beberapa program yang sudah berjalan seperti Paschiert dan Road to School.
            Nah, PASCH sudah diperkenalkan. Kini saatnya anggota baru sekolah mitra untuk diperkenalkan. Secara khusus, PASCH-team memberikan kesempatan kepada Pak Arnold dari SMA Katolik Frateran Maumere untuk memperkenalkan diri.
            Selanjutnya, dengan metode khas Jerman-nya, PASCH-team pun meminta masing-masing sekolah yan ghadir untuk memberikan perkenalan singkat sekolahnya dengan alat peraga sebuah poster yang membutuhkan isian: Nama kepala sekolah, nama sekolah, salah satu proyek PASCH yang paling sukses di tahun 2018 (berikut foto-fotonya), dan deskripsi singkat mengenai sekolah/ proyek PASCH tersebut. Diberikan waktu sekitar 45 menit bagi para koordinator dan kepala sekolah untuk menyiapkan presentasi perkenalan tersebut

...
***

Sungguh beruntung saya boleh menambah ilmu pengetahuan dan keterampilan dalam kegiatan Konferensi Kepala Sekolah Mitra Goethe-Institut se-Indonesia ini! 


Salatiga, 5 Desember 2018


Kristanto Irawan Putra
-->

Senin, 05 November 2018

Science Film Festival Goethe Institut 2018 di SMA Taruna Nusantara Magelang

Das war typisch Deutsch!

Foto Keluarga Besar Panitia/ Tim Bahasa Jerman SMA TN dengan Tim Science Film Festival/ Goethe Institut
Science Film Festival @sciencefilmfest pertama yang boleh kuikuti di almamater tercinta. Film serial Anna und die wilden Tiere kali ini membahas mengenai Sekolah Orangutan di Pedalaman Sumatra. Film yang amat cocok untuk membius ratusan pasang mata yang datang ke Ruang Baca Perpustakaan (RBP) SMA TN pagi ini! .. dan kejutan tidak hanya berhenti di situ. Kak Ayu dan Kak Dea Universitas Paramadina yang menjadi volunteer SFF kali ini ternyata telah menyiapkan kuis/ simulasi/ game seru untuk mengedukasi para penonton setelah pemutaran film. Ini.. Metode Kultur Orang Jerman sekali lho, pernah aku pelajari dan amalkan secara mendalam ketika aktif di STUBE-BW. Terima kasih, @goetheinstitut_indonesien! .. 

Tim SFF/ GI tidak hanya melalukan pemutaran film, tetapi juga membahas dan mendiskusikannya secara kreatif. Supeeer!

Dan di luar SFF, Angin kembara yang membawaku ke kampus biru SMA Taruna Nusantara yang terletak di Dsn. Pirikan, Desa Banyurojo, Kec. Mertoyudan, Kab. Magelang hari ini telah berhasil mengajarkanku banyak hal
1. Wanita memang susah dimengerti
2. Berada di belakang truk besar bermuatan tinggi ternyata beresiko. Kaca Dek Sigra remuk kejatuhan dahan.. (percayalah, ini hanya akan terjadi di Jawa Tengah)
3. Bisa pas ketemu rekan kerja Tangerang di lampu merah Magelang
4. Diminta berhenti diam di tempat karena sedang menaikkan bendera
5. Sistem hirarki kelihatan dan tidak kelihatan yang membuat acara ngaret hari ini
6. Aura merinding mengikuti acara protokoler dengan laporan siswa
7. Bertemu dengan Dante, Suci, dan Dedek Diki dan berdiskusi ala anak TN (padahal ya baru ketemu setelah pulang dari Jerman kali ini..)
8. Memberikan pujian di buku saku adek .. Oh iya, dan 1 alasan kuat kenapa aku minggu depan musti main ke Solo: rupa-rupanya ada seorang pamong visioner yang dengannya aku bisa menimba ilmu di sana.

Gott sei Dank, kepingan2 puzzle yang aku temui di sepanjang perjalanan hidupku ini tampaknya sudah mulai aku temukan wujud gambar aslinya: OSN, negara Jerman, Ikastara 49, PASCH/ sekolah mitra, Goethe-Institut, dan SMA Taruna Nusantara!

#deardiary #logbook #catatanperjalanan #sciencefilmfestival #goetheinstitut #ikastara #typischdeutsch #relawanpendidikan

Sabtu, 22 September 2018

Pameran Hari Perhubungan Nasional 2018 di Balai Kota Solo

Robotnya Bisa Push Up

Pameran Hari Perhubungan Nasional secara resmi dibuka oleh Wakil Walikota Surakarta, Bp Achmad Purnomo. Pameran ini digelar selama 3 hari yakni pada 22-24 September pukul 09.00 - 20.00 WIB. Dalam rangka memeriahkan pameran, Dishub Surakarta menggratiskan Bus Werkudara 6 trip gratis tiap hari.

Antusiasme warga masyarakat yang ingin naik Bus Tingkat Werkudara gratis di Pameran HARHUBNAS, Balaikota Solo cukup tinggi. 6 trip hari ini sudah full. Pendaftaran untuk trip hari minggu besok dibuka mulai pukul 08.00 WIB. Selain Werkudara, pengunjung juga bisa mencoba gratis meeting bus Gatotkaca.

Selain itu ada beragam stand yang dihadirkan di pameran ini. Salah satu yang menarik adalah stand dari SMA Pradita Dirgantara yang menampilkan robot yang bisa bergerak lincah sesuai program.

Pameran Perhubungan Nasional di Balaikota Surakarta, diikuti puluhan peserta : Dishub Kota Surakarta, BPTD Wilayah Jateng DIY, UPP Perhubungan Wilayah III (Pemprov Jateng), dan BTP Jateng - DIY, dari Instansi BUMN terdiri dari PT. Kereta Api Indonesia (KAI), PT. Angkasa Pura dan PT. INKA Madiun, Sekolah Tinggi Transportasi Darat (STTD) Bekasi, Politeknik Keselamatan Transportasi Jalan (PKTJ) Tegal, Akademi Perkeretaapian Indonesia (API) Madiun, Balai Pendidikan dan Pelatihan Transportasi Darat (BPPTD) Bali, Politeknik Ilmu Pelayaran (PIP) Semarang, SMK Pelayaran Kartosuro, SMA Pradita Dirgantara , dan Universitas Sebelas Maret (UNS). Operator Layanan Transportasi dan Perusahaan Otobus (PO) pun akan menampilkan beberapa armada terbaru mereka diantaranya dari PT. Rosalia Indah, Netra Trans, Agam Tungga Jaya, PT. Batik Solo Trans, CV. Graha Tama Mulya kolaborasi dengan 3M, Miniatur KA dan PT. Marktel, tidak lupa beberapa Komunitas Transportasi seperti Bus Mania Community, Penggemar Kereta Api dan Food Truck.

@ Balaikota Solo
22 September 2018

disadur dari postingan Facebook Dimas Suyatno
 

Jumat, 21 September 2018

Aku Rindu Bermain Petak Umpet

19 Juni 2016
 
Halo, kenalkan aku Kris kelahiran tahun 1992. Aku masih sempat merasakan kegembiraan dengan bermain petak umpet waktu aku SD. Aku memainkan permainan ini pertama kali dengan tetangga-tetanggaku di kampung. Walaupun dalam permainan di kampung ini aku cuman seorang anak bawang (waktu itu aku masih kelas 1 SD sendiri), aku sekarang bisa ketawa-ketiwi sendiri apabila mengingat tempat persembunyianku waktu itu: di balik pagar tanaman, di balik tong sampah, sampai di dalam got (saluran air di tepi jalan) yang kering di musim kemarau. 

Ketika aku naik ke kelas 3 SD, aku tidak lagi tinggal di kampung sehingga aku tidak bisa bermain petak umpet dengan tetangga-tetanggaku lagi. Untungnya, aku mengikuti les sempoa di sebuah perumahan dan setelah selesai les kami sering bermain petak umpet di perumahan tersebut. Cara bermain petak umpet waktu itu masih aku ingat betul sampai sekarang: Pertama, seseorang menyenggol punggungku kemudian aku harus menebak apakah ia menggunakan tangan kiri atau kanan untuk menyenggol. Tahap ini berfungsi untuk menentukan jumlah hitungan menutup mata, apakah nantinya aku hanya menghitung sampai 30 atau harus menghitung sampai 50. Kedua, orang tersebut akan menyenggol punggungku menggunakan jari tertentu. Apabila aku berhasil menebak jari mana yang digunakan untuk menyenggol, aku boleh menghitung hitungan yang sudah ditetapkan melalui tahap pertama dengan hitungan cepat. Kalau dipikir lagi sekarang, rasa-rasanya tahapan-tahapan ini kurang logis dan bodohnya adalah mengapa dulu aku mau mematuhi tata tertib ini tanpa protes. 

Setelah selesai menghitung, aku berbalik kemudian mencari di mana teman-temanku bersembunyi. Karena lokasinya di perumahan, tempat persembunyian teman-temanku cukup sulit ditebak. Ada yang bersembunyi di balik mobil yang di parkir, ada yang bersembunyi di balik tembok rumah tetangga, dan ada pula yang bersembunyi di dalam rumah. Hal yang menarik adalah ketika tempat persembunyian seorang teman sudah ketahuan dengan mudahnya karena ia spontan pasti akan mengatakan "Nas, aku belum selesai bersembunyi". Aku pun membiarkannya dan mencari teman-temanku yang lain. Ketika aku lengah, dia pasti akan mengatakan "Tit" sebagai tanda bahwa ia sudah kembali ke permainan dan biasanya sudah berada lebih dekat ke tiang laporan. Akan tetapi, masih ada lho hal yang lebih menjengkelkan daripada "Tit", yaitu "Bar". Teman yang mengatakan "Bar" otomatis tidak akan mengikuti permainan yang selanjutnya, dan sering kali ia mengatakan seperti itu kalau di babak tersebut ia barusan menang, sehingga aku tidak bisa membalas dendam. 
Akan tetapi, di balik ketidaklogisan permainan ini, waktu itu aku benar-benar merasa bahagia bermain petak umpet
Seperti yang telah kusebutkan sebelumnya, mengingat permainan tradisional seperti petak umpet sebenarnya membuatku ingin ketawa-ketiwi sendiri: ketawa dengan keputusanku waktu itu, kenapa aku ngumpet di sana atau di sini; ketawa dengan temanku yang tidak pandai bersembunyi sehingga gampang ketahuan; dan ketawa dengan kebodohanku kenapa mau mematuhi tata tertib permainan yang kalau dipikir sekarang sebenarnya dipenuhi oleh aturan kurang logis (masih ingat dengan tangan/ jari yang digunakan untuk menentukan hitungan menutup mata?). Akan tetapi, di balik ketidaklogisan permainan ini, waktu itu aku benar-benar merasa bahagia bermain petak umpet dan sekarang ini aku merasa bersyukur karena aku masih boleh merasakan bermain petak umpet waktu aku kecil.
Bermain petak umpet telah memberikan beberapa manfaat, antara lain membuat kita secara tidak sadar mau bergerak dan berlari, mengasah imajinasi tempat ngumpet dan mengambil keputusan cepat mau ngumpet di mana, dan menjalin pergaulan yang akrab dengan teman dan tetangga. Aku termasuk salah seorang yang menyayangkan semakin hilangnya permainan tradisional seperti ini karena kehadiran teknologi. Mungkin game-game yang ada di gadget dikatakan lebih memiliki nilai edukasi, tetapi aku mantap bahwa permainan tradisional juga memiliki nilai edukasi yang sebenarnya tidak kalah: 1) kekonyolan tahapan permainan dengan menyenggolkan tangan/ jari ke punggung sebenarnya telah mengajarkan kejujuran, 2) menghitung dengan menutup mata dari angka 1 sampai 30 atau 50 sambil ditinggal ngumpet sebenarnya telah mengajarkan kepercayaan. Dan akhirnya, 3) dengan berlomba lari menuju tiang laporan telah mengajarkan indahnya bila kita hidup bersama. 

Apakah itu semua tadi artinya sama, apabila kita hanya duduk asyik bermain game dengan menatap layar gadget kita? 

*Ditulis oleh Kristanto Irawan Putra 
  Skor tertinggi nomor 3 dalam "Sayembara Menulis Cerita Dolananku"
 
 

Kamis, 06 September 2018

Sebuah Komunitas yang Dulu Ditinggalkan

Pada hari ini,
Rabu, 5 September 2018 kami,


Kris - Founder @tbm_citraraya
Rudy - Founder @tuk_festivalmataair
Ayok - Founder @sapuupcycle.id
berkumpul di basecamp Komunitas TUK di Desa Tetep Gambirsari. Mengadakan reuni, saling tukar pikiran berdiskusi, dan siap berkolaborasi untuk Salatiga.

Minggu, 02 September 2018

Kisah Wisuda dan Asian Games 2018

Usai diwisuda dengan sebuah medali di kantor, seorang anak muda bersama eks-rekan kerjanya mampir ke sebuah toko swalayan di dekat sebuah hotel tempat atlet-atlet Asian Games menginap. 

Memasuki toko swalayan tersebut, anak muda yang masih memakai "medali emas" ini langsung menuju kasir mengutarakan niatnya untuk membeli air minum galon kepada seorang pramuniaga perempuan di situ. Ketika bertransaksi, anak muda ini bisa membaca gerak-gerik pramuniaga muda ini tampak sedikit grogi. Sontak, anak muda ini berkata, "Jangan grogi Mbak". 

Setelah menerima tisu basah dan uang kembalian, anak muda ini pun berkata lagi, "Makasih ya Mbak. Apa mau foto bareng?". Spontan pramuniaga yang satu ini pun menganggukkan kepalanya sambil memberi sinyal kepada teman-teman kerjanya untuk merapat. Dengan penuh antusias mereka semua segera membentuk formasi dengan anak muda ini berdiri di tengah-tengahnya, siap ber-swafoto. Jepret!


Seorang pramuniaga laki-laki pun sambil mengangkatkan galon air minum ke mobil mencoba mengakrabkan diri memulai pembicaraan dengan bertanya, "Dapat Rp 150 juta ya Mas?". Seorang anak muda ini pun menjawab, "Iya, alhamdulilah". Di mobil, anak muda ini sontak tertawa cekikikan dengan eks-rekan kerjanya, yang di dalam toko tadi mungkin berakting sebagai manajer seorang atlet yang baru saja mendapatkan medali emas hari ini.. Mereka merasa sedikit bersalah telah membohongi pramuniaga-pramuniaga di toko tadi, tetapi mereka sekaligus juga geli, "apa mungkin sih seorang atlet Asian Games yang sedang menginap di hotel mampir ke toko swalayan di dekat situ untuk membeli galon air minum?". Pendidikan di Indonesia ternyata memang kurang merata. Apa mungkin anak muda di cerita di atas dikira pramuniaga tadi sebagai Jojo? 😉



Menurut saya pribadi, anak muda tadi tidak bersalah. Ia justru telah membahagiakan seorang pramuniaga tadi dengan mewujudkan mimpinya ber-swafoto bersama atlet Asian Games, sekalipun atlet KW..

#medaliwisuda #lulusdarikantor #resign #atletasiangames #adiknyajojo #jojojunior #bonus1,5m #bonus150juta #galonairminum #pendidikandiindonesia #swafoto #budayamasyarakat #anakmuda #welcometojawatengah #welcomesalatiga


Tangerang, 31 Agustus 2018


Der gruene Baum

Minggu, 19 Agustus 2018

Menulis adalah Suatu Bentuk Kagebunshin bagi Orang Ekstrovert

SEBUAH SENI UNTUK BERSIKAP BODO AMAT
Beberapa hari yang lalu, aku baru saja menamatkan membaca sebuah buku hits yang berjudul "Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat" karya Mark Manson. Buku ini merupakan sebuah buku yang memiliki nilai sejarah untukku
- Aku tidak ingat persis kapan pertama kali aku mengetahui tentang buku itu. Apakah ketika melakukan foto-shopping di Gramedia atau apakah ketika sahabatku Novi menyebutkan buku itu mengenalkan padaku untuk pertama kalinya
- Sahabat lamatku, Teja, sempat menyebutkannya juga di telepon atau ketika kunjungannya ke Tangerang di awal bulan Mei. Sebuah buku yang berjudul "The Subtle Art of not Giving a F*ck", judul asli buku ini sebelum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Sahabatku ini memang selalu update dengan buku-buku terbaru, khususnya buku-buku yang berbahasa Inggris.

Aku yang tengah mengalami gamang dan gundah gulana akhirnya memberanikan diri meminjam buku ini dari sang empunya, Novi, dan membawanya dalam wisata rohaniku ke kota pahlawan, Surabaya, kira-kira pertengahan Mei.

Lembar demi lembar buku itu kubaca sambil kurenungkan, sambil kunikmati masa-masa semadiku di dalam sebuah kamar tidur kapsul yang menjadi pilihan tempat istirahatku di ibukota propinsi Jawa Timur ini. Singkat cerita, di hari akhir kunjunganku ke Surabaya, kupinjamkanlah buku itu pada seorang adik alumni yang sangat menginspirasiku, Tasya namanya. Ia tampak begitu antusias memindai tulisan dalam buku-buku itu dari halaman satu ke halaman berikutnya, sambil sesekali mengaktifkan fitur kamera di HP-nya untuk mengabadikan tulisan-tulisan yang yang membuatnya terkesan. Melihat hal itu, langsung kutawarkan buku itu untuk ia pinjam. Ia tampak lebih membutuhkan buku itu daripada aku.. saat itu.

Hari demi hari berganti, minggu demi minggu berlalu, dan bulan demi bulan terlewatkan. Jujur, aku sempat merasa keliru telah meminjamkan buku itu pada adik itu, karena ia tak kunjung mengembalikannya. Menurutku, aku pribadi bukanlah seorang debt collector buku. Ada rasa trust yang sedang aku jaga, trust dari Novi yang perlu aku jaga. Sudah lama aku meminjam buku itu. Ini bukunya, aku tahu betul bahwa bagi sahabatku ini, buku adalah harta karunnya.. aku terjebak dalam dilematika rasa nggak enak'an ini. Nggak enak jadi debt collector terus ke Tasya, dan nggak enak ke Novi karena belum kunjung mengembalikan buku. Aku mengalah. Kubelikan Novi buku baru supaya bisa menggantikan buku lamanya yang telah kupinjam cukup lama ini. Ia menerimanya. Syukur kepada Allah.

.. dan ternyata Tuhan mempunyai rencana yang indah di balik semua ini. Suatu malam, ketika diriku kalut dan bergerak menuju TBM untuk memasang jam dinding yang baru, kulihat sebuah paket buku yang dibungkus tas kresek berwarna hitam. Aku merasa cukup mengenal dengan tulisannya, dan taraaa.. Adikku Tasya akhirnya mengembalikan buku itu. Aku bisa membacanya lagi. .. dan saat di mana aku bisa membacanya lagi adalah ketika suasana hatiku sedang kalut. Barangkali jawabannya ada di buku itu. Tuhan sepertinya sedang memberi petunjuk bahwa buku itu adalah buku yang perlu aku baca.

Buku itu.. luar biasa. Tulisan "Sebuah pendekatan yang waras untuk menjalani hidup yang lebih baik" memang pantas disematkan untuk isi dari buku itu. Eitsss, aku tidak mau melakukan spoiler, aku tidak akan menjelaskannya secara panjang lebar di tulisan ini karena ini memang bukan bedah buku atau sinopsis. Barangkali satu hal saja yang mau aku sebut di sini: Bagaimana kita sebenarnya akan menjadi lebih bahagia ketika berani mengatakan tidak.

Mmm, praktik memang tidak segampang teori. Membaca buku ternyata tidak serta merta membuat kita otomatis akan mengalami level-up. Aku merasa melakukannya lagi hari ini: menyakiti hati seorang wanita, yang barangkali telah meluangkan waktunya yang sempit untuk tetap bisa bertemu memberikan kontribusinya untuk komunitas ini. .. dan aku telah pergi meninggalkannya, demi seorang teman lama lainnya yang mengunjungiku karena merasa khawatir dengan sebuah penyakit yang sedang aku derita. Pilihan yang memang tidak gampang.
Aku.. sempat mendapatkan kesempatan untuk bisa mengatakan tidak pada teman lamaku ini (ia sebenarnya punya janji dan aku meyakinkannya untuk membatalkan janjinya), tapi lagi-lagi rasa nggak enak'an yang aku punya ini telah membuatku akhirnya meninggalkannya, melukai hati seorang wanita ini..

Dear seorang wanita di seberang sana, maaf. Aku ternyata masih harus belajar lagi untuk berani mengatakan tidak. Aku berharap, pernyataan maafku ini akan bisa sampai padamu. Mungkin, masalah yang kini sedang membentang di antara kita ini adalah suatu ujian yang sedang diberikan Tuhan agar aku akhirnya bisa mengalami yang namanya level-up. Aku mau lebih bijak dalam membuat pilihan, bukan berdasarkan karena rasa nggak enak, melainkan lebih berdasarkan karena aku memang memilihnya dengan penuh kesadaran setelah menimbang-nimbangnya dengan penuh kebijaksanaan..

NARUTO
Akhir tulisan, apabila alasan Om Pram menulis adalah bekerja untuk keabadian ("Menulis adalah bekerja untuk keabadian"),
tulisan ini ingin kututup dengan alasanku menulis: "Menulis adalah suatu bentuk kagebunshin bagi orang ekstrovert"

Aku.. mungkin bukan benar-benar seorang introvert seperti yang orang-orang kira. Entah karena aku membaca Naruto atau di kehidupan sebelumnya memang pernah berlatih di Gunung Myoboku, aku merasa aku menguasai ilmu Senjutsu: selalu merasa bisa mendapatkan energi dari orang baru, lingkungan baru.. Orang "ekstrovert" sepertiku rasanya perlu menulis agar orang-orang di sekelilingku tetap bisa memperoleh chakra dariku, seseorang yang mungkin akan masuk kategori kuda liar menurut Dee Lestari.

Selasa, 26 Juni 2018

Aku, Komplainku, dan Kebodohanku (Pembayaran Layanan Internet Ind*home)

Aku
Aku termasuk salah seorang anak yang beruntung, boleh lahir dalam sebuah keluarga yang berkecukupan - bahkan menurut beberapa orang, termasuk yang berlebih - sehingga bisa memasang beberapa layanan internet Ind*home yang ditawarkan oleh sebuah perusahaan telekomunikasi terbesar di Indonesia ini. Mengingat orang-tuaku lahir di tahun 60an awal, mereka cukup gaptek sehingga layanan-layanan internet ini didaftarkan menggunakan namaku dan aku mempunyai kewajiban untuk membayar layanan internet ini setiap bulannya.

Sebelum aku menjadi bagian dari masyarakat Tangerang, aku telah mendaftarkan namaku untuk 2 layanan internet di kampung halaman. Seiring waktu berlalu, di tahun 2018 aku mendaftarkan namaku lagi untuk 2 layanan internet lagi di Tangerang ini: di TBM Citra Raya dan di rumah kontrakanku, tempatku tinggal bersama teman-teman yang lain. Lagi-lagi, di sini aku tinggal bersama 2 orang rekan kerja yang lahir di tahun 70an awal, sehingga tingkat kemelekan mereka terhadap dunia internet rasa-rasanya masih kalah denganku. Sekali lagi kupakai namaku untuk mendapatkan layanan internet di rumah ini.

Curahan hati seorang teman malam ini meningatkanku bahwa dunia kerja memang berbeda dengan dunia kuliah. Aku menyadari betul bahwa waktu luang yang kupunyai saat ini jauh lebih sedikit daripada di masa lalu. Ya, sepertinya kata-kata seorang teman baikku yang lain - yang sudah lebih dulu menginjakkan kakinya di dunia kerja - memang benar adanya: ketika bekerja, kita menukarkan waktu yang kita miliki dengan uang berupa gaji yang masuk ke dalam rekening bank kita setiap bulannya.. Layanan internet yang dipasang di Tangerang ini semuanya dilakukan tanpa keberadaanku, mengingat teknisinya bekerja di siang hari, saat di mana aku sedang bekerja menukarkan waktuku dengan uang tadi. Jadilah internet ketika sore hari sudah terpasang, dan aku pun tidak mempunyai kesempatan untuk bertemu dengan para teknisi itu. Untungnya, aku termasuk bagian dari generasi milenial yang cukup cepat beradaptasi dengan teknologi ini. Dengan satu klik, klik, dan klik, aku tidak mengalami kendala yang berarti untuk menggunakan layanan ini dengan baik.

Angin bertiup, daun berguguran, hari demi hari silih  berganti. Setelah beberapa saat menggunakan layanan, tibalah saatnya untuk membayar. Berbekal nomor yang tertera di sebuah box modem, aku pun membayar layanan internet di rumah kontrakan melalui layanan mobile banking yang disediakan oleh sebuah bank swasta terbesar di Indonesia. Aku pun juga merasa telah membayar layanan di TBM Citra Raya, berbekal nomor telepon yang disampaikan oleh teknisi Ind*home itu melalui pesan singkat di WhatsApp. Jadilah pada bulan itu, aku telah menyelesaikan tagihan layanan internet untuk kedua termpat tersebut.

Komplain
Suatu hari di tanggal 20an bulan itu, aku mendapati bahwa di rumah kontrakanku kami tidak bisa menikmati layanan TV berlangganan dengan pesan sebagai berikut:

Disebutkan di sana bahwa layanan terganggu karena kami belum melakukan pembayaran. Wah wah wah, ini jelas membuatku merasa terhina. Bagaimana mungkin aku yang sudah melakukan pembayaran dianggap belum melakukan pembayaran sehingga layanannya diputus? Kuambil telepon genggamku dan segeralah kulakukan komplain. Jujur saja, aku cukup merasa terganggu waktu itu dengan petunjuk dari operator telepon hotline tersebut, karena mereka selalu menyarankan menyampaikan komplain menggunakan aplikasi MyInd*home, yang mana tidak lagi bisa aku akses karena aku telah mendaftarkan diriku untuk 4 layanan internet berbeda dengan provider yang sama ini. Besar harapanku, ke depannya layanan aplikasi MyInd*home ini bisa ditingkatkan oleh pihak Ind*home untuk pelanggan yang memiliki lebih dari 1 layanan sepertiku. Komplain kusampaikan dan berakhirlah hari itu.

Pihak Ind*home berusaha untuk melakukan reset dari server dengan cara memintaku untuk mematikan, kemudian menghidupkan modemnya lagi setelah beberapa saat. Petunjuk ini telah kulakukan, dengan beberapa jeda waktu antara mematikan dan menghidupkan misalnya:
Matikan, 5 menit tunggu, hidupkan
Matikan, 1 jam tunggu, hidupkan
Matikan, 1 hari tunggu, hidupkan
.. dan upaya ini ternyata seperti menggarami air laut. Akupun melakukan komplain sekali lagi via telepon. Aku mendapatkan petunjuk lagi, yakni untuk melakukan reset setting'an pada TV menggunakan nomor internet yang tertera di box. Kulakukan cara ini, kukombinasikan dengan cara klasik matikan hidupkan.. dan lagi-lagi upaya ini juga tidak membuahkan hasil. Pitamku mulai tinggi kembali, keesokan harinya kulakukan lagi komplain.

Di hari Minggu, aku mendapati bahwa komplainku kali ini disambut sangat baik, di mana teknisi Ind*home mau datang langsung dan mau mengecek akar masalahnya. Harapan bisa menikmati layanan internet lagi pun muncul dan membuatku bahagia, terlebih ketika menghitung hari-hari tanpa internet yang hilang, di mana aku tetap harus membayar layanannya. Mereka muncul pertama kali di TBM Citra Raya, menanyaiku apakah layanan yang terkendala ada di TBM. Aku pun menjawab bahwa layanan terkendala ada di rumah kontrakan. Aku tidak berpikir panjang kenapa mereka justru datang kemari, karena aku memang mendaftarkan diriku untuk 2 layanan: di TBM dan kontrakan. Usut punya usut, ternyata ada kebodohan yang telah kulakukan yang membuat pihak Ind*home mungkin juga kesal terhadap komplain-komplainanku selama ini.

Kebodohan
Sekalipun ketika pemasangan aku dan teknisi itu berkoordinasi via WhatsApp dan telepon, rupa-rupanya ada saja hal yang ketinggalan untuk disampaikan: aku ternyata tidak mengetahui secara persis nomor internet yang harus kupakai untuk membayar layanan ini setiap bulannya. Nomor internet yang kugunakan untuk membayar layanan internet di kontrakan, ternyata adalah nomor layanan internet untuk TBM. Nomornya tertukar, sehingga layanan di kontrakan memang belum pernah dibayar selama sebulan dua bulan ini. Wajar dong kalau layanannya diputus. Wah, ini jelas sesuatu. Betapa malunya aku yang sempat berniat melaporkan layanan Ind*home yang kurang profesional ini ke khalayak ramai!

Tulisan ini aku buat untuk menghibur para pembaca akan kebodohanku, sekaligus sebagai bentuk permohonan maaf kepada Ind*home yang telah membuat KPI mereka (mungkin) menjadi tidak tercapai karena komplain-komplainku yang berkepanjangan, yang mana disebabkan karena kebodohanku sendiri. Semoga tulisan ini bermanfaat.


Tangerang, 26 Juni 2018


der Gruene Baum

Selasa, 22 Mei 2018

Kisah Perburuan Foto di Landau in der Pfalz dan Sebuah Refleksi

Sebuah pertanyaan TTS dari Cak Lontong di acara Waktunya Indonesia Berbuka hari ini (ya, ini tidak typo. "Berbuka" bukan bercanda, karena acara ini acara live di bulan puasa) telah membuatku menuliskan artikel ini.

Ada enam kotak, huruf ke-5 nya O.
Seorang kiper kesebelasan Juventus yang tahun ini memutuskan untuk gantung sepatu ...

Buffon (Gianluigi Buffon)! Kira-kira begitu jawaban normatifnya dari TTS di atas. Namun, Cak Lontong adalah Cak Lontong. Ia tidak mungkin begitu saja membenarkan jawaban normatif Anda di acara kuis yang dibawakannya. Adakah di antara teman-teman yang kebetulan juga menonton atau bisa menjawab?

Sambil memikirkan jawabannya, ini saya mau menceritakan sebuah kisah lawas..

***

Pernahkah teman-teman mendengar sebuah kota di Jerman yang bernama Landau? Kalau ternyata belum, jangan merasa malu atau minder.  Seperi halnya kota Frankfurt yang harus memakai embel-embel nama “am Main“, kota Landau yang dijadikan tempat perburuan foto kali ini pun mesti diberi embel-embel  tambahan “in der Pfalz“, karena ada sebuah kota Landau yang lain di Jerman, yaitu Landau an der Isar.

Landau in der Pfalz merupakan kota terbesar ketiga di Pfalz. Pfalz sendiri adalah nama sebuah regio yang terletak di bagian selatan negara bagian Rheinland-Pfalz. Terletak di südliche Weinstraße (jalur anggur selatan), kota ini merupakan daerah irisan Semesterticket KVV (Karlsruher Verkehrsverbund) dan VRN (Verkehrsverbund Rhein-Neckar). Dengan demikian, diharapkan akan ada semakin banyak peserta yang berminat untuk mengikuti kegiatan baru dari KMKI MWD ini karena tidak perlu mengeluarkan biaya transportasi (hanya KMKI Hessen yang perlu membeli tiket).
-->

***

Sudah ketemu jawabannya? Lho Kak, lagi asyik-asyik bertualang ke negeri Jerman koq ditanya jawaban pertanyaan Cak Lontong lagi? Iya Dek, karena sekali lagi jawabannya berhubungan dengan tulisan di atas.

Jawaban yang benar adalah.. tet teret teret.. "MoveOn". Sebuah kata yang harus kurefleksikan di malam hari ini. Apakah aku sudah benar-benar move on dari cara hidupku yang lama? Hmm, setidaknya aku belajar banyak dari Cak Lontong hari ini: seorang kiper itu tidak suka melihat ke belakang karena tahu di depannya ia harus menjaga gawangnya dengan baik untuk menghadapi penyerang-penyerang dari kesebelasan lawan..

Jadi, Buffon aja move on, Bang KIP nggak mau ikutan move on nih?
 
.. pengen baca kelanjutan kisah perburuan foto di Landau in der Pfalz? Yuk yuk yuk mari di mari baca artikelnya di sini:

Tangerang, 22 Mei 2018


der gruene Baum

Senin, 14 Mei 2018

Orang Jateng bisa Membuat SIM Banten di Kab Tangerang? (Bagian 3/3 Final)

24-4-2018

Hari itu hari Selasa. Sebelum aku kembali melanjutkan kisah pembuatan SIM di Tanah Jawara Banten ini, aku ingin menyisipkan cerita kejadian tilang yang juga kualami di Kabupaten Tangerang ini, yang terjadi ketika aku mengendarai mobil pulang dari Kota Cilegon. 

***

Pembaca yang berasal dari Kecamatan Cikupa dan sekitarnya pasti tahu bahwa di dekat sini terdapat pertigaan yang angker bagi pengendara mobil.. ya betul Lampu Merah Pertigaan Tigaraksa! Adanya pos polisi dan halte angkutan umum yang terdapat di pertigaan ini seakan-akan menjadi spot yang ideal bagi polisi lalu lintas untuk mengadili pengendara mobil yang "kurang berhati-hati dan waspada" dalam berlalu lintas. "Pelanggaran lalu lintas apa sih yang kakak langgar?" Jawabannya klasik: Menerjang lampu merah.

Tentu aku tidak dengan secara sengaja menerjang lampu merah itu. Hanya sebuah perkara lampu hijau yang pelan-pelan berpindah ke warna kuning-lah yang membuat jiwa mudaku merasa gemezzz untuk tetap melaju sambil berguman "mung kacek sithik". Ketika melintasi lampu itu, mataku benar-benar masih melihat bahwa lampu itu sedang berpindah dari warna hijau ke warna kuning.. tetapi kami pengendara mobil memang tengah ditunggu oleh seorang polisi yang berdiri di tengah-tengah jalan itu. Tidak ada mobil berikutnya yang menyusul mengikutiku melintasi lampu itu. Itu berarti - sebagai mobil terakhir - sudah menjadi hal yang naas bagiku untuk memperoleh surat tilang berwarna biru itu.

"Tilang SIM atau STNK?", tanya Pak Polisi kepadaku.
Tanpa berpikir panjang, aku pun segera memilih STNK, mengingat SIM yang kubawa di hari itu sebenarnya masa berlakunya sudah habis. Aku beruntung karena Pak Polisi tadi tidak menyadari hal itu. Seandainya ia menyadari, mungkin aku akan menerima 2 surat tilang sekaligus di hari itu: Pelanggaran Menerjang Lampu Merah dan Tidak Mempunyai SIM.. Tampaknya Dewi Fortuna masih berpihak padaku di hari itu. Aku diminta untuk membayar uang tilang dan mengambil STNK itu di Kejaksaan pada hari Selasa, 24 April 2018 jam 10 pagi.

***

Maka jadilah aku mempunyai 2 agenda di hari Selasa itu: Melanjutkan Pembuatan SIM dan Mengambil STNK yang Ditilang. Usai meminta izin kepada atasanku, akupun berangkat ke Kawasan Pemda Tigaraksa. Tujuan pertamaku adalah Bank BRI yang ada di Kampung Gudang Tigaraksa. Aku membayar Rp 500.000,- ke sana sebagai uang tilang. Sigh, di tanggal yang ranum aku harus mengeluarkan sejumlah uang yang cukup besar, jumlah uang yang cukup untuk menghidupiku di minggu terakhirku di bulan April.. Untungnya, aku masih ingat dengan nasihat Rizal, teman seperjuanganku sebagai pegiat literasi di sebuah TBM yang terletak di Perum Citra Raya: "Anggap aja ber-shodaqoh kepada negara". Nasihat itu begitu menentramkan kalbu dan memantapkan diriku untuk mengurus segala sesuatunya sesuai prosedur yang memang ditetapkan oleh pihak kepolisian. Tidak melakukan salam tempel, ikut sidang, semoga berkah!

Aku pun kemudian beranjak ke Satlantas untuk melanjutkan pembuatan SIM terlebih dahulu, mengingat waktu masih menunjukkan pukul 08:45. Sidang pengambilan STNK baru akan dilaksanakan pukul 10:00. Sesampai di Satlantas, sesuai arahan Pak Polisi di Pos 5 hari Sabtu lalu, aku langsung bergerak menuju pos itu. Aku disambut ramah oleh Pak Polisi, beliau memintaku untuk menunggu sebentar di kursi depan sambil beliau mencari berkas dokumen kepunyaanku. Aku pun duduk di kursi di depan pos itu, sambil menarik napas panjang dan melepaskannya perlahan - sebuah ritual untuk membuat diri merasa rileks. Perlahan-perlahan kugerakkan bola mataku untuk memandangi suasana kantor polisi di hari kerja. Suasananya sangat sepi, hanya 2 - 3 orang yang kulihat sedang mengurus SIM sepertiku. "Oh, begini toh rupa-rupanya pemandangan kantor polisi di hari kerja, sepi juga ya kerjanya bisa nyantai..", pikirku dalam hati.

"Saudara Kristanto". Pak Polisi menyebutkan namaku. "Ayo kita ke lapangan untuk ujian praktik", sambungnya. It's the showtime, waktunya telah tiba. Aku pun berjalan di samping Pak Polisi tadi sambil mengajak bercakap-cakap ringan - lagi-lagi sebuah cara yang kulakukan untuk mengurangi ketegangan menjelang ujian praktik. Hari itu sedikit gerimis, Pak Polisi pun menanyakan kepadaku apakah aku mau menunggu dulu atau mau lanjut saja. "Lanjut, Pak", jawabku mantap mengingat aku sendiri sebenarnya sedang ditunggu oleh bos dan timku di kantor. Pak Polisi itu pun membawaku ke lapangan, menunjukkan kepadaku sebuah mobil Avanza yang nantinya digunakan untuk ujian. Beliau kemudian mengajakku untuk menuju tempat ujian praktik, yang lokasinya hanya berjarak 20 meter dari tempat diparkirnya mobil ujian praktik itu.

"Jadi begini ya, saya jelaskan dulu aturan mainnya", kata Pak Polisi itu ramah. Ujian praktik yang pertama: aku diminta untuk mengendarai mobil keluar dari parkiran, belok ke kiri dan mengendarai mobil itu di jalan tanjakan dan berhenti di situ. Ujian berikutnya adalah bagaimana aku dapat melanjutkan mengendarai mobil di tanjakan itu tanpa mobil bergerak mundur. Ini adalah seni berkendara yang menurutku mempunyai tingkat kesulitan yang cukup tinggi, tetapi memang wajib dikuasai demi keselamatan diri sendiri dan pengguna jalan yang lain ketika berkendara. Ujian praktik yang kedua: Setelah mobil lanjut bergerak di tanjakan, aku kembali diminta untuk menghentikan laju mobil sejenak di jalan turunan. Usai berhenti, mobil harus dikendarai kembali, sekali lagi belok ke kiri, dan diparkir di area parkir yang telah ditentukan. Titik kesulitan di ujian yang kedua ini, menurutku ada di bagian di mana aku harus memarkirkan mobil tanpa mengenai batas patok yang telah ditetapkan oleh Pak Polisi tersebut.

.. dan dimulailah ujian praktik itu!

Setelah kukenakan safety belt, kukendarai mobil ujian praktik itu dengan hati-hati, mengingat aku harus bersahabat terlebih dahulu dengan level ketinggian koplingnya. Ah, kopling mobil ini ternyata cukup tinggi, sangat signifikan bedanya dengan mobil balap yang aku kendarai sehari-hari. Ya, dengan level ketinggian kopling yang rendah, seseorang akan lebih cepat memindahkan transmisi kecepatannya, khususnya ketika start mengakselerasi mobil. Sudah menjadi kebiasaanku dalam berlalu lintas untuk menyalakan lampu sen sebelum berbelok. Ini pun kulakukan secara otomatis ketika aku menjalani ujian praktik ini.

Akhirnya pun tiba saat di mana aku menghadapi tanjakan itu. Hand rem dan kulanjutkan lajuku menaiki tanjakan itu. Mengingat level ketinggian kopling cukup tinggi, aku yang merasa sedikit panik pun secara refleks menginjak tuas gas cukup dalam sehingga menimbulkan suara mesin cukup keras. Aku cukup berhasil, tetapi tampaknya Pak Polisi tidak begitu happy mendengar suara mesin yang kasar itu. Ujian berikutnya: memarkir mobil. Torsi mobil yang biasa kukendarai sangat berbeda dengan torsi mobil Avanza ini. Aku yang merasa cukup gugup pun sempat mengambil ancang-ancang mundur yang terlalu mepet, sehingga aku harus bergerak maju sekali lagi sebelum memundurkan mobil itu masuk ke tempat parkirnya. Aku berhasil. Aku pribadi memberikan skor 75 kepada diriku di hari itu, harusnya masih bisa lulus.

Pak Polisi itu - entah karena ingin mempersulitku atau sekedar menghabiskan waktu kerjanya sedikit lebih lama lagi bersamaku - memintaku untuk mengulang serangkaian ujian praktik itu sekali lagi. "Suara mobil di tanjakan masih kasar dan parkir mobil belum bisa 1x jadi", begitu jelasnya kepadaku.

Singkat cerita, aku yang sudah lebih menguasai bagaimana mengendarai mobil Avanza dan mempunyai rasa percaya diri yang lebih pun berhasil perform lebih bagus di kesempatan kedua yang beliau tawarkan itu. Aku tak mengalami kesulitan yang berarti saat parkir di kesempatan kedua, mengingat hari Senin lalu aku baru saja memarkirkan mobil dengan posisi yang lebih sulit di gedung parkir tempatku bekerja. Bedanya hanya di soal torsi mobil, dan kali ini aku sudah lebih tahu keterbatasan torsi mobil ini. Setelah kuparkirkan mobil dengan sempurna, Pak Polisi itu pun mengulurkan tangannya dan menyelamatiku. "Selamat ya, Mas. Ujian SIM itu tidak susah 'kan?", tanyanya retoris. Beliau seakan memintaku untuk menyebarkan informasi kepada khalayak luas bahwa pembuatan SIM dengan jalur ujian itu machtbar, bukanlah "bikin SIM yang harus nembak karena ujiannya sangat sulit" seperti desas-desus yang ada..

Wah, ternyata aku sudah menulis cukup panjang. Pun malam ketika aku menuliskan artikel ini sudah semakin larut. Dear pembaca, tanpa bermaksud mengurangi keasyikan kalian ketika sedang tenggelam membaca tulisan ini (sok banget, pede amat kalau tulisannya bisa bikin orang tenggelam), izinkan penulis untuk kembali menggunakan otak kirinya ya :D
1. Sistem pembuatan SIM hari itu sedang offline. Proses pencetakan SIM-nya harus menunggu.
2. Kesempatan menunggu kugunakan untuk pergi ke Kejaksaan untuk mengambil STNK. Jam 10 pagi. Ini pengalaman pertamaku. Aku memasukkan surat tilang, memesan kopi di warung sambil menunggu panggilan. Seperti observasiku sebelumnya, ada banyak Kaizen Idea yang bisa didapat dengan melihat kekurangefektifan ini. Secara mengejutkan aku mendapatkan panggilan jam 11 siang. STNK kuperoleh, bersama secarik surat yang menyebutkan bahwa denda tilang itu hanya Rp 150.000,-. Aku bisa mengambil kembali sisa uang yang telah kubayarkan tadi di Bank BRI. Senangnya hatiku, ini artinya tidak ada ancaman yang berarti untuk berat badanku di akhir bulan ini.
3. Aku kembali ke Satlantas. Sistem masih saja offline. Kutanyakan kemungkinan untuk datang kembali sore hari, selepas kerja. Bosku sudah menunggu. Bapak-bapak Polisi itu menyanggupi.
4. Jam 13 aku dikabari kalau SIM-ku sudah jadi. Jam 17:15 aku kembali meluncur ke Satlantas. Kutanyakan SIM-ku di Posko. Kudapatkan SIM itu, dan betapa bangganya diriku melihat bahwa Orang Jateng yang satu ini kini telah memiliki SIM A terbitan Banten, dengan tanda tangan Bapak M. Sabilul Alif, Kapolresta Tangerang yang juga menjadi junjunganku di dunia literasi..

Ya betul, beliau adalah juga seorang penulis..

Summary:
--> Kab. Tangerang telah menjadi contoh untuk Propinsi Banten ini dalam hal praktik anti-korupsi dalam kasus tilang dan pembuatan SIM
--> Biaya pembuatan SIM A hanya ~Rp 180.000,- (tahun 2018). Aku mendengar gosip bahwa SIM Nembak biayanya Rp 550.000,- (3x lipat)
--> Jujur saja, SIM pertamaku di Jawa Tengah kudapatkan dengan cara nembak.. . Betapa bangganya aku sebagai orang Jawa Tengah boleh memiliki SIM Banten, lebih-lebih dengan cara ujian

Semoga tulisan ini dapat memberikan informasi dan sedikit menginspirasi..


PS: Otak kiriku ternyata sudah tidak pure otak kiri lagi ya.. aku tidak bisa menulis secara singkat, padat, dan jelas lagi.. Apakah ini efek samping dari membaca buku-buku nonfiksi?

Tangerang, 14 Mei 2018


der Gruene Baum

Kamis, 03 Mei 2018

Orang Jateng Bisa Membuat SIM Banten di Kab Tangerang? (Bagian 2/ 3)

..

Mulanya aku sempat bingung karena Pos 4 Ujian Teori tidak mempunyai loket seperti di pos-pos sebelumnya. Hanya ada sebilah pintu di hadapanku dan tak ada tanda-tanda pintu itu akan dibuka secara berkala. Meski hanya sedikit, aku sempat merasa ngeri. Ngeri kenapa aku mengurus SIM sendiri di tanah perantauan ini. Aku tak tahu ke mana aku harus bertanya: tidak ada petugas yang menggunakan baju seragam, aku tidak bisa membedakan yang mana petugas dan yang mana orang awam sepertiku. Satu dua kali aku sempat bertanya, akan tetapi jawaban yang aku dapatkan tidaklah pasti. Semuanya simpang siur.

Perlahan mulai terbersit dalam pikiranku, kepengurusan SIM yang kurang jelas ini, jangan-jangan memang ada unsur kesengajaan, mengingat propinsi ini termasuk salah satu propinsi dengan peringkat korupsi tertinggi di Indonesia.

"Panggilan kepada Bapak Indrayana, Bapak Kristanto.., ", tiba-tiba terdengar suara yang memecah pergumulan batinku. Uh, sialnya aku tidak mendengarkan panggilan itu sampai selesai. Aku hanya bergerak masuk ke dalam sebuah ruangan yang dimasuki orang sesaat setelah diumumkannya panggilan itu. Sebelum aku masuk, aku sempat membaca nama ruangan itu: Pos 6 Foto dan Rekam Sidik Jari. Ruangan itu cukup ramai: ada orang yang menunggu sambil duduk, ada pula orang yang menunggu sambil berdiri. Ada 2 meja kerja yang terdapat di ruangan itu. Aku kembali bertanya di dalam hati, "Apakah benar aku dipanggil masuk ke sini? Kenapa dari Pos 3 aku langsung dipanggil ke Pos 6? Di meja kerja manakah aku harus mengantri?".

Satu per satu nama orang dipanggil di ruangan itu untuk difoto dan direkam sidik jarinya. Aku, bersama puluhan orang di ruangan itu pun tampak berkonsentrasi menunggu datangnya panggilan kedua itu. Dua puluh menit menunggu, namaku belum juga disebut oleh petugas yang ada di kedua meja kerja itu. Pikiranku kembali mengajak diriku berdialog: "Kami seperti sedang berada di sebuah penjara, di mana panggilan dari petugas artinya adalah kami akan diselamatkan". Pertanyaannya tinggal, apakah nama kami benar-benar akan dipanggil petugas tersebut? Aku sempat gugup melihat bahwa petugas-petugas itu memegang setumpukan berkas-berkas - yang aku tidak tahu apakah itu dari Pos 3 Penyerahan Berkas, Pos 4 Ujian Teori, atau Pos 5 Ujian Praktik -. Orang keluar masuk silih berganti terus menerus memberikan tambahan berkas kepada kedua petugas itu. Yang menjadi pertanyaanku: Bagaimana seandainya berkasku jatuh? Bagaimana seandainya berkasku dilewati terus oleh petugas, tenggelam ketika banyak berkas baru yang ia terima dari orang-orang yang hilir mudik tadi? Berbekal ilmu dan pengalaman yang kudapatkan di perusahaan tempatku bekerja, mengamati ketidakefektifan ini rasa-rasanya aku akan sanggup membuat lusinan PDCA dari mekanisme pembuatan SIM tanpa masalah yang berarti. Dan inilah salah satu alasanku menulis artikel ini: untuk mengabadikan current state-nya. Apakah pembaca bisa membantu memikirkan future state-nya? :)

.. dan aku pun tiba-tiba melihat berkasku! Secara kebetulan, ia tertumpuk pada bagian paling atas! Aku pun mengikuti ke arah mana saja berkas itu akan dibawa - dari petugas di meja 1 ke petugas di meja 2. Namaku sempat dipanggil lagi oleh petugas di meja 2 untuk memasuki ruangan. Aku pun hanya tersenyum terheran-heran, karena sudah dari tadi aku memasuki ruangan ini. Ini tidak efektif. Aku pun harus menunggu sejenak lagi sampai semua nama dalam berkas itu sudah disebutkan namanya oleh petugas. Akhirnya, datang juga saat yang ditunggu-tunggu. Namaku dipanggil dan aku - dengan gaya menirukan anak anjing yang melihat tulang - dengan patuh segera mengikuti segala instruksi untuk foto dan rekam sidik jari. AKHIRNYA!

Sebelum meninggalkan meja petugas di Pos 6 itu, aku kembali bertanya ke pos mana aku harus menuju setelah ini. Petugas itu kembali menyebutkan Pos 4. Aku pun kembali bertanya-tanya dalam hati. Ah, aku ini sudah dari pos 6, sudah difoto dan direkam sidik jari, kenapa diminta kembali ke pos 4 untuk ujian teori? Mungkin aku tidak akan mengajukan pertanyaan seperti itu, seandainya ada sedikit kejelasan di Pos 4. Sekali lagi, aku hanya bisa melihat sebilah pintu yang tertutup di sana, bertuliskan jadwal tes yang hanya dimulai 1 jam sekali. Waktu menunjukkan pukul 10:35. Apakah benar aku harus menunggu sampai jam 11, dan pintu itu akan terbuka sesuai jadwalnya? Atau apakah aku, mendapatkan hak privilege untuk memperoleh SIM tanpa ujian, sehingga sudah diizinkan masuk ke pos foto? Ini karena memang aku bukan mengajukan SIM untuk yang pertama kalinya.. Sungguh, aku tidak tahu di pos mana aku seharusnya memposisikan diriku untuk menunggu. Pos 7 ada di lorong depan sana, tempat orang-orang mengambil SIM mereka. Apakah setelah foto, aku tinggal menunggu di depan seperti mereka?

Sedikit intermezzo. Pojok baca di seberang pos 4 ini sudah menjadi tempat incaranku untuk menunggu dalam proses pembuatan SIM. Hanya saja, aku khawatir apabila aku sudah tenggelam dalam membaca buku, aku bisa saja melewatkan panggilan dari pos selanjutnya.. Sebuah panggilan yang menyelamatkan jiwa kami dari penjara ketidakpastian ini :)

Alhasil, kata-kata Bung Hatta ini pun, tidak dapat aku implementasi dalam kasus pengurusan SIM ini. Aku rasa-rasanya tidak akan bebas apabila aku di penjara bersama buku di tempat ini. Satu-satunya yang bisa membebaskanku hanyalah sebuah panggilan nama yang cukup random tadi, baik secara nama, pos maupun timing :D

Menunggu panggilan di depan pintu pos 4 sampai lewat jam 11 membuatku cukup yakin bahwa pos 4 ini kemungkinan besar hari ini ditiadakan, karena pintu itu tidak sekalipun terbuka. Mungkin orang yang mengajukan SIM hari ini memang yang sedang memperpanjang SIM semua, sehingga tidak membutuhkan syarat ujian lagi. Aku pun beranjak dari tempat duduk dan bergerak untuk menunggu di Pos 7: Pos Pengambilan SIM. Memakai ilmu cocokologi dalam mengambil kesimpulan: kalau aku sudah difoto dan direkam sidik jari di pos 6, bukankah itu artinya aku tinggal menuju pos 7?

Adapun pos 4 merupakan pos ujian teori dan pos 5 adalah ujian praktik. Pintu pos 5 berada di samping pintu belakang pos 4. Aku bisa melihat kedua pos pintu itu ketika aku menunggu di ruang tunggu pos 7. Senyum nyinyir terpancar dari wajahku ketika aku justru mendapat panggilan dari pintu belakang pos 4.. Ujian Teori! Ternyata aku memang harus mengikuti ujian teori terlebih dahulu. Aku pun memasuki ruangan itu. Ketegangan sempat kurasakan. "Jangan-jangan aku tidak lulus, atau kalau aku lulus pun, SIM ku tidak akan bisa jadi hari ini karena lembar jawabnya tidak mungkin dikoreksi dalam waktu sebentar..", gumamku dalam hati. Oleh petugas berseragam polisi itu, aku dipandu untuk duduk di depan sebuah komputer, tempat di mana aku harus mengerjakan soal-soal ujian teori itu. Ahaaa, ilmu baru..! Ternyata ujian teori dalam proses pembuatan SIM itu sudah  computer-based. Ini artinya, kemungkinan besar hasil ujian akan bisa langsung diketahui di detik aku melakukan submit jawaban. Setelah mengisi identitas dan menjawab beberapa kuesioner awal, soal-soal ujian praktik pun muncul.

Kami hanya diberi waktu 15 menit untuk menyelesaikan 30 soal yang berbentuk pilihan ganda. Di sini, aku tidak mau berkomentar lebih jauh terkait soal-soalnya, takut kalau dikira memberi bocoran soal hehehe.. Benar saja, setelah submit, aku pun segera mendapatkan pemberitahuan skor yang aku peroleh. Bersamaan dengan itu, aku melihat secarik kertas print out yang keluar dari printer komputer dari petugas pengawas yang ada di depan. Aku dinyatakan LULUS! "Yeaaay, tidak ada halangan dari ujian teori, akhirnya aku akan bisa memperoleh SIM hari ini". Demikian kataku dalam hati. Aku pun segera keluar pos 4 melalui pintu belakang untuk selanjutnya menuju ke Pos 5: Ujian Praktik.

Sedikit dag-dig-dug tentunya, karena aku sempat mendengar bahwa banyak orang tidak lulus ujian SIM karena ujian praktiknya. Kita diminta untuk jalan maju membuat angka 8 ataupun diminta jalan mundur secara zig-zag. Dan ternyata.. - sebelum aku sempat berpikiran macam-macam - petugas pos 5 menyebutkan, "Kami mohon maaf, jalan di depan sedang diaspal. Sekali lagi maaf, apakah Bapak bisa kembali ke sini hari Selasa? Bapak bisa langsung ke sini, tinggal membawa kertas hasil ujian teori ini saja, tidak perlu mengantri di depan di pos-pos sebelumnya lagi". Aku kemudian melihat jam dinding. Waktu memang telah menunjukkan jam 12 kurang 5. Aku sudah punya janji dengan teman-temanku jam 13. Mungkin memang belum rezekiku untuk bisa mendapatkan SIM hari Sabtu ini.. 

..atau mungkin aku memang diberi kesempatan untuk latihan menyetir lagi..
ke Rumah Dunia Serang untuk berjumpa dengan Mbak Nana Najwa Shihab!

Salam Literasi..! 

.. (bersambung)




Senin, 30 April 2018

Orang Jateng Bisa Membuat SIM Banten di Kab Tangerang? (Bagian 1/ 3)

Dear All,

Uh uh.. Tepat 1 hari setelah hari ulang tahunku, suatu peristiwa telah menggerakkanku untuk membuka dompet mengambil Surat Izin Mengemudi (SIM) yang kupunya. Betapa kagetnya diriku melihat bahwa SIM itu ternyata masa berlakunya telah habis kemarin, di hari ulang tahunku! Usut punya usut, ternyata masa berlaku SIM itu memang didesain tepat di tanggal kelahiran 5 tahun yang akan datang..

Aduuuh, masalah ini. Aku orang Jateng yang semenjak tahun 2016 lalu telah berganti domisili di Kab. Tangerang sebagai seorang karyawan di sebuah pabrik manufaktur. Hmm, sebenarnya bisa-bisa aja sih bikin SIM di kota asalku. Hal ini sudah diatur oleh Perjanjian Kerja Bersama (PKB) di tempatku bekerja: aku akan mendapatkan izin 1 hari untuk itu. Akan tetapi, aku menilai ini sebagai suatu hal yang kurang bijak untuk dilakukan mengingat ada banyak kerjaan yang harus kuselesaikan di kantor di bulan April ini. Aku pun mencoba untuk mengurus perpanjangan SIM ini di Tanah Jawara. 

Maka jadilah hari Sabtu, hari libur yang kudapatkan setelah membanting tulang selama 5 hari. Sabtu itu sayangnya aku sudah membuat janji untuk mengajar anak-anak di Kota Baja Cilegon melalui kegiatan Kelas Inspirasi (KI) Cilegon 2. Memang, siang hari usai mengajar aku sempat ditemani oleh Kak Jewel ke Mayofield Mall, sebuah mal tempat di mana mobil SIM keliling melayani masyarakat. Sayangnya, seorang petugas keamanan memberitahu kami bahwa mobil tersebut baru datang pukul 16:30. Kayaknya kesorean deh. Belum juga kalau mobilnya kebetulan hari ini pas tidak datang, aku tak mau penantianku nanti sia-sia.

Menghubungi Kak Bere, kami pun mendapatkan masukan untuk bergerak menuju Kantor Satlantas Polres Cilegon yang letaknya berada di dekat alun-alun. Dengan bantuan dari googlemaps kami pun berhasil sampai di sana pukul 13:15. Ah, lagi-lagi usahaku untuk membuat SIM masih menemui kendala. Seperti yang sudah aku duga, layanan SIM di hari Sabtu kemungkinan besar hanya berlangsung setengah hari, sampai dengan jam 12 siang saja. Mungkin memang belum jodohku untuk membuat SIM di Kota Cilegon ya. "Ya elah, orang Jateng mau bikin SIM, jauh bener bikinnya nyampai kota Cilegon. Masih mending kalau tinggalnya memang di sini, sampeyan juga siapa, cuman pelancong aja di kota baja ini..", demikian imajinasiku mencoba membayangkan percakapan yang akan terjadi seandainya aku berhasil menemui petugas pembuatan SIM dan mengutarakan niatku untuk membuat SIM di Cilegon..

Sabtu berikutnya! Ndak enak kalau tidak datang ke pernikahan salah seorang engineer - customer kami di kantor -, aku jadi punya waktu beberapa jam untuk mengurus SIM di Kota Semarang, Jateng. Daya khayalku kembali bermain, "Sugeng enjing, Pak. Kula ajeng ndamel SIM ting mriki..", bahasa yang akan aku gunakan di kantor satlantas di sini. Huhu, lagi-lagi nasib sedang tidak berpihak padaku. Sabtu ini ternyata tanggal merah! Sebagai karyawan, aku tidak menghafalkan hari libur yang jatuh pada hari Sabtu, karena pada hari ini aku memang mendapatkan libur. Banten Banten. Mungkin memang peruntunganku masih ada di propinsi ini.. aku pun kembali ke Kota Benteng Tangerang ini dengan tangan hampa.

Seminggu yang berikutnya kembali berlalu. Kini aku berencana membuat SIM di kota domisiliku, Kab. Tangerang. Setelah kuparkirkan kendaraanku di sebuah lapangan parkir berlumpur di seberang, kumasuki Kantor Satlantas Polres Tangerang yang terletak di Pemda Tigaraksa. Petugas di posko menanyaiku apakah aku mau membuat SIM baru atau memperpanjang SIM. "Perpanjang SIM", jawabku mantap. Sebenarnya, dari referensi-referensi yang aku baca di dunia maya, sejak tahun 2017, SIM yang masa berlakunya sudah lewat 1 hari saja sudah dianggap mati. Orang tidak bisa lagi memperpanjangnya, melainkan harus membuat SIM yang baru. Rasa-rasanya sudah menjadi sifat dasarku yang iseng: aku tetap mencoba mengurus SIM dengan cara "perpanjang SIM", siapa tahu aturan tahun 2017 itu masih bisa dibelokkan, belum semulus dan selurus jalan tol.. Petugas pun mengarahkanku untuk membayar asuransi dan meminta surat kesehatan dari kantor terkait yang ada di seberang, yang letaknya persis di sebelah lapangan parkir berlumpur tadi.

Terasa betul manfaatnya membaca referensi dalam membuat SIM! Aku yang memang sudah menyiapkan beberapa fotokopi KTP dengan secepat kilat langsung menyerahkan syarat tersebut ketika diminta oleh petugas, baik petugas asuransi maupun kesehatan. Aku mengeluarkan kocek senilai Rp 30.000,- untuk membayar asuransi dan Rp 25.000,- untuk tes kesehatan. Sekalipun aku merasa bahwa berat badanku sudah tidak ideal lagi, aku tidak mengalami kesulitan ketika menjalani tes kesehatan. Aku hanya disodori beberapa pertanyaan dari buku tes buta warna, menyebutkan angka yang tertera di halaman satu dan halaman lainnya.

Usai mendapatkan kedua syarat ini, dengan meninggalkan KTP asli aku mendapatkan penang kuning bertuliskan "Perpanjangan SIM" dari petugas di posko satlantas. "I am on the right track to apply the driving license", gumamku percaya diri. Kepercayaan diriku seketika goyang di pos pengambilan formulir. Petugas itu menyampaikan bahwa SIM-ku sudah tidak berlaku lagi. Persis seperti referensi yang telah aku baca sebelumnya, beliau menjelaskan bahwa SIM dulunya memang diberi allowance masa berlaku sampai dengan 3 bulan ke depannya. Namun, sejak tahun 2017, aturan ini direvisi. Telat sehari pun, SIM sudah tidak berlaku lagi. Mau ngeles lupa ngecek masa berlakunya? Maaf, seperti yang aku tulis di atas tadi: SIM ternyata sudah didesain untuk habis masa berlakunya di hari ulang tahunmu 5 tahun yang akan datang. Jadi.. sama seperti visual plat nomor yang memberikan informasi bulan habisnya masa berlaku STNK, kamu memang harus selalu cek ketika bulan di kalender sudah berganti memasuki bulan kelahiranmu. Ah, 5 tahun itu 'kan lama Mas. Emm, menurutku sih nggak lama-lama amat ya, apalagi kalau kamu sudah mulai memasuki rutinitas di dunia kerja. Curcol dikit nih, gini-gini aku udah ada 2 tahun lebih lho mencari nafkah di Kab. Tangerang ini.. Adakah yang kelihatan berubah dari diriku? Kelihatannya sih nggak, kecuali perut yang sudah bertambah maju :D

Kembali ke kepengurusan SIM, aku perlu menebus uang senilai Rp 125.000,- untuk mengambil formulir tersebut. Setelah mengisi lengkap formulir dan menyertakan fotokopi KTP dan SIM, kuserahkan berkas itu ke pos berikutnya.

Sambil menunggu panggilan dari petugas untuk proses selanjutnya, aku pun sempat mengabadikan banner berikut, yang akan aku tuliskan lagi sehingga teman-teman pembaca dapat mengetahui jam pelayanan SIM di Satlantas Polresta Tangerang.

JAM PELAYANAN
Senin s/d Kamis: 08:00 WIB s/d 15:00 WIB
Jumat s/d Sabtu: 08:00 WIB s/d 14:00 WIB


... (bersambung)




Rabu, 21 Maret 2018

PASCH Road to School: SMA TN



Sabtu, 17 Maret 2018

Pukul 14:00 - 16:30
1. Pembukaan dari Perwakilan Sekolah dan Perkenalan dari Alumni Sekolah sekaligus PASCH
2. Sesi I: Apa itu PASCH, tujuannya, mata kegiatan, dan kesempatan membuka cakrawalanya. Penayangan video PASCH Road to School (video kita)
3. Sesi II: Perkenalan Komunitas Alumni Sekolah yang ada di Jerman (Ikastara 49). Cerita ttg hidup di Jerman dan bagaimana cara lanjut studi di Jerman
4. Pembagian merchandise untuk adik-adik yang aktif bertanya dan mengikuti seminar dan foto bersama

.. to be continued

Minggu, 18 Februari 2018

Aku dan Dek Niki - ku: sekarang dan 7 tahun yang lalu

...

Selepas menjelaskan seputar konsep dan teori, Pak Agus mulai masuk ke hal-hal yang lebih praktis: sebuah Workshop Fotografi. Dijelaskannya sejarah perkembangan kamera dari kamera negatif, kamera dengan plat kaca, kamera film, hingga berkembang menjadi kamera digital di era sekarang. Beliau sendiri cukup update dalam memaparkan ini, di mana beliau juga membahas bahwa kamera DSLR sekalipun sudah memiliki fungsi Wi-Fi saat ini agak mulai ditinggalkan masyarakat, karena masyarakat sekarang cenderung lebih mengejar kepraktisan – sesuatu yang bisa didapatkan dengan memfoto kamera HP. Pak Agus melanjutkan mengenai trisula fotografi: Shutter Speed, Aperture, dan ISO, yang kemudian disambungkannya dengan bahasan mengenai Lighting atau teknik pencahayaan. “Sebagai generasi muda, kalian akan saya ajari bagaimana cara membuat foto yang bagus untuk di-share, salah satunya dengan teknik framing yang baik”, kata Pak Agus memberikan tips. Framing atau teknik pengambilan pemandangan sebelum difoto diajarkannya dalam bahasa off center dan hi-low horizon. Hal ini seperti yang pernah didapatkan penulis dalam bahasa Rule of Third, artinya aturan sepertiga: bagaimana objek dapat diletakkan di sepertiga bagian kiri, sepertiga bagian kanan, maupun atas bawah untuk membuatnya lebih menarik. Akan tetapi, ada juga beberapa objek yang bagus diletakkan di tengah, hal ini juga sesuai dengan ilmu Pak Agus yang ia beri nama teknik Balance. Wah, sepertinya hari ini kita dapat beberapa ilmu nih untuk bikin suatu foto yang instagrammable!

...



Dek Niki, apa kabarmu? Sudah lama aku tidak membelai lembut dirimu..
Siapakah aku sekarang, siapakah aku 7 tahun yang lalu?