Laman

Selasa, 22 Desember 2015

Forum Diskusi Transportasi di Salatiga

Sidomukti, 19 Desember 2015


Belasan siswa SMP dan SMA/SMK di Salatiga mengikuti acara forum diskusi "Sudah Nyamankah Angkutan Kotaku?" di Perpusda Salatiga. Konsultan transportasi Bapak Titis Bawono dari GIZ - SUTIP Surakarta dan Kepala bidang angkutan Bapak Adi Wibowo dari Dishubkombudpar Salatiga hadir dalam acara tersebut.

Bertempat di Perpusda Salatiga, Komunitas Masyarakat Transportasi - Salatiga (MTi - Salatiga) menggelar forum diskusi "Sudah Nyamankah Angkutan Kotaku?". Forum diskusi ini memang ditujukan untuk anak sekolah sebagai mayoritas pengguna jasa Angkota Salatiga saat ini. Acara dimulai dengan pemutaran sebuah film pendek yang mengisahkan tentang kondisi Angkota Salatiga saat ini. Film yang berdurasi 8 menit ini telah membuat diskusi peserta menjadi hidup. Para peserta tidak malu untuk menyampaikan pendapatnya tentang Angkota Salatiga. Mereka menilai bahwa Angkota Salatiga saat ini masih kurang nyaman, di antaranya karena ada penumpang yang merokok, sering berhenti mendadak, dan trayeknya tidak melalui semua sekolah.

"Saya kadang dari sekolah naik angkot no. 4 jurusan Kalibening - Tamansari. Tapi kalau angkotnya tidak lewat, ya saya jalan kaki. Memang sebenarnya trayek angkotnya tidak melalui sekolah kami", tutur Anugrah Wahyu dari SMK Neger 3 Salatiga. Hal ini seringkali memang menjadi dilema anak SMA/ SMK. Sebelum berusia 17 tahun, anak SMA/ SMK seharusnya belum boleh naik sepeda motor, tetapi tidak sedikit yang nekat karena kebutuhan transportasi mereka ke sekolah yang belum bisa terakomodasi dengan baik oleh kendaraan umum.

Dalam kesempatan ini, Pak Bowo dari Dishubkombudpar menuturkan bahwa beliau menampung keluh kesah anak sekolah terhadap Angkota Salatiga di atas. Dari forum diskusi ini banyak bermunculan ide-ide segar tentang bagaimana membangun sistem transportasi di Kota Salatiga. Pak Titis dari GIZ - SUTIP misalnya, telah menambah wawasan anak sekolah tentang Batik Solo Trans. "Kalau saya dari Tamansari mau ke SMUKI, apa mungkin Pak, saya oper angkot tapi bayarnya cuman sekali?", tanya Michael Putra dari SMA Kristen 1 Salatiga.

Transportasi memang akhir-akhir ini menjadi perhatian di beberapa kota besar di Indonesia. Pertanyaannya: Apakah harus menunggu sampai jadi macet dulu baru kita perhatikan kondisi transportasi di Salatiga? - kip -

Selasa, 15 Desember 2015

Resensi Buku "Menghidupkan Mimpi ke Negeri Sakura"


Resensi Buku
Menghidupkan Mimpi ke Negeri Sakura
 

Sampul Depan Buku "Menghidupkan Mimpi ke Negeri Sakura"


 Siapa yang belum pernah mendengar tentang pohon sakura? Membayangkan suasana berteduh di bawah pohon sakura berwarna merah jambu membawa hati ini menjadi syahdu. Indah, begitu indah rasanya. Ingin, ingin sekali saya merasakan suasana ini, walau hanya sebatas mimpi.
Identitas negeri Jepang sebagai negeri sakura rupa-rupanya bukan semata-mata karena keindahan warna daun pohon sakura. Ada suatu keindahan lebih yang bernama budaya. Manga dan anime Jepang – lah yang menceritakan kehidupan orang Jepang bersama pohon sakuranya. Informasi tentang pohon ini tidak akan pernah sampai ke Indonesia (dan seluruh penjuru dunia), apabila orang Jepang bukanlah orang yang mencintai alam dan budayanya. Setidaknya sangat jelas bagi saya, bahwa keindahan negeri sakura bukan hanya karena pohonnya, melainkan juga karena kekuatan budayanya.
Mimpi yang menjadi semakin indah ini mungkin hanya akan terus menjadi sebuah mimpi belaka, mengingat biaya hidup di Jepang yang terkenal sangat mahal. Akan tetapi, bagaimana seandainya mimpi ke negeri sakura itu benar-benar bisa diwujudkan? Buku yang berjudul “Menghidupkan Mimpi ke Negeri Sakura” mengajak kita untuk menghidupkan mimpi itu. Melalui kisah-kisah inspiratif mereka yang bersifat personal, mahasiswa-mahasiswi Indonesia yang tergabung dalam PPI Osaka – Nara (Perhimpunan Pelajar Indonesia Osaka – Nara) berusaha menyingkap kiat sukses mereka memperoleh beasiswa hingga sukses menyelesaikan kuliah di Jepang.
Beraneka-ragamnya latar belakang mahasiswa-mahasiswi ini menjadi kekuatan tersendiri dari kisah-kisah inspiratif mereka di buku ini. Gagus Ketut Sunnardianto misalnya, anak seorang penjual jamu tradisional yang menjadi penerima beasiswa Monbukagakusho (pemerintah Jepang) untuk program lima tahun (S2 dan S3). Mahasiswa yang relatif tidak berduit ini justru memanfaatkan kekuatan DUIT (Doa, Usaha, Ikhtiar dan Tawakal) yang bernama rasa nelongso dan prihatin sebagai kekuatan besar untuk berjuang. Kisah yang tak kalah menarik datang dari Narila Mutia Nasir, penerima beasiswa program doktor (S3) yang berstatus sebagai seorang ibu, istri, dan mahasiswi tatkala berkuliah di Osaka. Narila ini bahkan pernah melakukan presentasi di sebuah konferensi internasional sambil menggendong bayinya yang bernama Nura! Ia membuktikan bahwa tiga peran yang harus ia jalani bukan menjadi suatu penghalang untuk mewujudkan mimpi.
            Sifat personal dari kisah-kisah inspiratif di buku ini juga tidak melulu soal perjuangan akademik mereka, tetapi juga perjuangan dalam kehidupan berumah-tangga. Sastia Prama Putri tak ragu membagikan dilema yang terjadi dalam kehidupan rumah tangganya, ketika suaminya yang seorang dosen harus melakukan pekerjaan “kasar” seperti kuli angkut atau mencuci piring di Osaka karena mesti berkorban untuk karier akademik istrinya. Masalah adaptasi anak yang dibawa si penerima beasiswa pun dipertegas oleh Rouli Esther Pasaribu, di mana ia sempat mengalami ketakutan perkara bully dan masalah perkembangan anaknya yang harus menghadapi kendala bahasa ketika menjadi ikut bersekolah ke luar negeri.
            Beasiswa kuliah di negeri sakura pun tidak hanya terbatas bagi mereka-mereka yang berkecimpung di dunia sains. Okie Dita Apriyanto yang berkuliah S1 Sastra Jepang adalah penerima beasiswa MEXT program Japanese Studies selama 1 tahun. Penggemar tarian Yosakoi ini berkesempatan melihat langsung Festival Yosakoi di kota Kochi, kota di mana tarian tersebut berasal. Pengalaman ini menjadi bekal berharga bagi Okie untuk kemudian menyampaikan “oleh-oleh” tersebut kepada masyarakat Surabaya melalui Festival Yosakoi Unitomo yang dirintisnya. Melalui kisah yang berjudul “Tak Ada Jalan yang Tak Sampai”, Teguh Setia Anugeraha yang mengambil kuliah jurusan bahasa dan sastra Jepang juga berkesempatan menerima beasiswa Monbukagakusho program Japanese Studies. Keberhasilan yang ia peroleh merupakan buah dari semangatnya untuk selalu bangkit walau diterpa kegagalan bertubi-tubi. Sejak tingkat satu, Teguh sudah mengikuti berbagai kesempatan untuk bisa pergi ke Jepang, di antaranya tes beasiswa, duta budaya, dan lomba pidato, yang kesemuanya itu sayangnya selalu berujung pada kegagalan. Namun, kegagalan demi kegagalan itu pun terbayarkan di tingkat akhir perkuliahan, di mana akhirnya Teguh berhasil menyabet juara kedua lomba pidato tingkat nasional dan kesempatan beasiswa Monbukagakusho sekaligus!
            Di akhir setiap kisah inspiratif ini, masing-masing kontributor kisah inspiratif diberi kesempatan untuk menuliskan biodatanya secara singkat. Saya sedikit menyayangkan ketidakseragaman struktur informasi yang diberikan oleh para kontributor, misalnya ada yang menuliskannya dalam bentuk narasi, ada yang dalam bentuk poin-poin saja, dan ada pula yang sama sekali tidak menuliskan biodatanya. Ketidakseragaman ini barangkali dapat membuat pembaca merasa geram apabila kontributor yang ingin dihubungi ternyata tidak menyertakan alamat korespondensi. Selain itu, ketidakseragaman ini juga secara tidak langsung menghadirkan kesan bahwa proses editing kisah-kisah dalam buku ini kurang berjalan dengan baik. Saya berpendapat bahwa 1 – 2 kisah dalam buku ini sebaiknya tidak ikut disertakan dalam buku ini karena kisah mereka memiliki ide pengembangan cerita yang cukup berbeda dengan yang diharapkan oleh penyusun buku.
            Kekuatan dari keanekaragaman yang ingin disatukan menjadi sebuah buku ini ada baiknya dilengkapi dengan pengelompokkan kisah (clustering), misalnya berdasarkan kemiripan kesulitan yang dihadapi atau berdasarkan jurusan kuliah yang ditempuh. Dengan adanya pengelompokkan semacam ini, pembaca dengan mudah akan menemukan siapa kira-kira kontributor yang dapat menjadi inspirator utamanya. Penyusun juga ada baiknya memberikan sebuah halaman ekstra di akhir buku yang dapat merangkum kisah-kisah ini secara garis besar, misalnya dengan memberikan poin-poin super penting yang bisa dipetik dari seluruh kisah, atau dengan memberikan bagan tentang jalur-jalur beasiswa yang ada yang disertai dengan pemetaan siapa saja kontributor di dalam buku ini yang berhasil menerima beasiswa dengan jalur tersebut. Informasi seperti ini pastinya akan sangat berguna bagi pembaca awam yang masih asing dengan istilah Mombusho, Monbukagakusho, MEXT, dan lain sebagainya.
            Setelah menimbang kekuatan dan kelemahan buku ini, saya sangat merekomendasikan buku ini supaya dibaca oleh para pelajar dan mahasiswa dari seluruh lapisan masyarakat. Ide penyusunan buku ini menjadikan buku ini tidak mengenal batasan pembaca, baik itu berdasarkan tingkat pendidikan, usia, status, maupun batasan kemampuan finansial, sehingga sangat ideal dengan kondisi masyarakat Indonesia yang memang Bhinneka Tunggal Ika. Kekuatan yang dimiliki oleh kisah-kisah inspiratif dalam buku ini benar-benar mampu untuk menghidupkan mimpi pembaca berkuliah ke negeri sakura. Ganbatte kudasai!


Penulis resensi:
Kristanto Irawan Putra
Mahasiswa S1
Bioteknologi Molekuler Universitas Heidelberg

Minggu, 06 Desember 2015

Heute ist Nikolaustag!

Tanggal 6 Desember adalah hari yang sangat dinanti oleh jutaan anak sekolah di Jerman. Pada hari ini Om Nikolaus akan memberikan kado/ bingkisan Natal kepada anak-anak tersebut, layaknya Om Sinterklas di Indonesia pada malam sebelum Natal.

Nah, kalau tanggal 24 Desember nanti gantian Om Weihnachtsmann yang datang untuk memberikan kado/ bingkisan (tetapi tidak seheboh perayaan Om Nikolaus).

Inilah mengapa Masa Adven dan Natal begitu dinanti-nantikan di Jerman :)


Sumber: Kampung Jerman - Salatiga

Minggu, 29 November 2015

Komunitas Masyarakat Transportasi - Salatiga


Sekilas tentang Komunitas Masyarakat Transportasi - Salatiga

            Komunitas MTi - Salatiga dibentuk pada hari Jumat, 20 November 2015 sebagai wadah untuk berdiskusi segala sesuatu tentang dunia transportasi di Salatiga. Komunitas ini ingin menjadi jembatan antara pemerintah, swasta, dan masyarakat Salatiga dalam rangka meningkatkan kualitas layanan transportasi di Salatiga. Secara rutin, komunitas ini telah mengepos hal-hal menarik tentang transportasi yang bisa dibaca oleh semua orang di halaman Facebook "Masyarakat Transportasi - Salatiga" (facebook.com/mti.sal3).

Apakah Pembaca juga pemerhati transportasi? Silakan bergabung untuk berdiskusi dalam rangka mengupayakan peningkatan kualitas layanan transportasi!

Minggu, 22 November 2015

Film Mbah Usup Pahlawanku (The Becak Legend)

Cover Film "Mbah Usup Pahlawanku (The Becak Legend)"

Sinopsis Film:
Mbah Usup adalah tukang becak sekolahku dari dulu waktu aku sekolah sampai sekarang. Dulu saja beliau sudah tua, apalagi sekarang, dan tetap setia berprofesi sebagai tukang becak. Beliau telah mengantar-jemput anak-anak sekolah langganannya hingga kini mereka sudah lulus kuliah dan bekerja menjadi orang sukses.
Jasa beliau membuat aku sadar bahwa beliau adalah seorang pahlawan dalam hidupku. Mbah Usup, The Becak Legend, Sang Ndoro Pejuang, terima kasih atas pengabdianmu..!

Mbah Usup Pahlawanku (The Becak Legend)
Adalah film dokumenter berdurasi 8 menit 50 detik dan diproduksi pada tahun 2015
Film ini diputar pertama kali dalam Salatiga Short Film Festival 2015 di Pelataran Gedung DPRD Salatiga.

Film ini dipersembahkan oleh Alumni SD 78 angkatan '98 untuk mengapresiasi pengabdian Mbah Usup selama ini.

Minggu, 20 September 2015

Transportasi dari Bandara Ahmad Yani Semarang ke Kota Salatiga

Saya termasuk seorang yang beruntung karena mendapatkan kesempatan untuk berkuliah di luar negeri, tepatnya di negara Jerman. Saking nyamannya dengan transportasi di Jerman, saya iseng mencoba menggunakan angkutan umum di Indonesia untuk pulang kampung ke Kota Salatiga tahun 2014 silam.

Inilah caranya (versi pendek):
- Naik BRT dari luar bandara, transit di Pemuda, naik BRT arah Ungaran, turun di Sukun
- Naik Bus Semarang - Salatiga (biasanya Semarang - Solo), turun di Salatiga di spot-spot yang akan saya sebutkan di bawah
Lama perjalanan total sekitar 2 - 2,5 jam.

Inilah kisah perjalananku (versi panjang):
Sesampai di Bandara Ahmad Yani Semarang, saya mencari bus rapid transit (BRT) Kota Semarang yang katanya salah satu koridornya sudah menjangkau bandara. Betul saja, setelah berjalan kurang lebih 200m keluar bandara, saya menemukan halte BRT tersebut. Setelah menunggu di halte selama beberapa waktu, akhirnya bus yang saya tunggu-tunggu datang juga. Busnya sepi, entah mungkin karena belum banyak pengguna BRT koridor yang menjangkau bandara ini atau karena hari itu masih siang. Oleh kondektur saya pun diberi petunjuk untuk membayar 2 tiket mengingat saya membawa koper besar (ya iyalah namanya juga dari bandara, apalagi dalam rangka pulang kampung..). Dalam hati sebenarnya saya merasa peraturan ini lucu, namanya juga dari bandara, ya wajarlah ya kalau orang bawa koper masuk bus. Akan tetapi, ya saya hanya menyimpannya dalam hati karena harga tiket BRT toh relatif terjangkau, yaitu sebesar Rp 3.500,00 sekali jalan dan saya tidak perlu membayar lagi untuk pindah koridor.

Dari bandara bus ini bergerak menuju halte transit di jalan Pemuda. Di sana saya perlu turun, oper pindah koridor yang menuju luar kota Semarang (Ungaran). Dari daerah yang bernama Sukun baru saya bisa naik bus luar kota Semarang - Salatiga. Dugaan saya benar, ternyata sudah banyak pengguna BRT walaupun itu di siang hari, mengingat harga tiketnya yang relatif terjangkau tadi. Sayangnya manajemen antre di halte transit itu belum diatur dengan baik. Di pintu keberangkatan BRT di halte tersebut tidak dipisahkan antrean untuk penumpang koridor satu dengan lainnya. Hal ini mengakibatkan penumpang ndesel-ndeselan: penumpang yang sudah mengantre di depan tetap mau mempertahankan posisinya di depan walaupun bus yang mau lewat ini bukan bus yang ingin ia naiki.

Setelah uyek-uyekan akhirnya saya berhasil naik juga ke BRT koridor yang saya kehendaki. Busnya penuh, karena koridor ini rasa-rasanya adalah salah satu koridor favorit karena menghubungkan antara Terminal Terboyo Kota Semarang dengan Terminal Sisemut di Ungaran. Dengan harga yang hanya Rp 3.500,00, tidak usah pindah koridor pun naik BRT koridor ini sepertinya sudah balik modal karena rutenya yang cukup jauh. Saya tetap percaya diri aja bawa-bawa koper besar masuk bus, toh saya juga sudah membeli 2 tiket :)

Hal yang cukup membuat deg-degan ketika naik BRT koridor ini adalah jalan menanjak yang harus ditempuh untuk menuju Semarang atas. Saya baru menyadari bahwa Kota Semarang ini mempunyai tantangan geografis yang lumayan sehingga menimbulkan istilah Semarang atas dan Semarang bawah. Seperti kendaraan-kendaraan lainnya, BRT ini pun bergerak dengan lambat, apalagi ketika ketika muatannya penuh seperti yang terjadi pada siang hari itu. Barulah saya tergerak untuk menghubungi pihak manajemen BRT supaya armada BRT ditambah secara signifikan supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan di jalan tanjakan ini. Kualitas kenyamanan naik BRT pun menjadi berkurang ketika bus dengan ukuran sedang ini penuh sesak sampai tempat untuk berdiri saja sudah penuh. Pertanyaan selanjutnya kan jadi: "Kalau ada orang yang mau turun di suatu halte bagaimana, masak ya udah desel-deselan di halte, di dalam BRT juga harus kayak gitu lagi"

Akhirnya saya sampai juga di halte Sukun, saya turun kemudian saya oper ke bus luar kota Semarang - Salatiga yang kebetulan dilayani oleh Safari Lux. Harga tarifnya Rp 12.000,00 dan alhamdulilah cukup nyaman. Saya tidak perlu berdesak-desakan lagi dan mendapatkan tempat duduk. Bus ini juga relatif cepat, jarak Sukun - Salatiga biasa ditempuh dalam waktu 1 jam. Bus ini juga sangat "ramah penumpang", sesampai di Salatiga penumpang bisa diturunkan di mana saja di sepanjang rute yang dilewati oleh bus ini. Walau begitu, titik-titik penaikan dan penurunan penumpang di Salatiga biasanya:
- di Kauman: kemudian oper ke angkota Salatiga nomor 02 untuk menuju terminal angkota Tamansari.
- di Jetis: akses ke Jalan Kartini atau Imam Bonjol
- di Pasar Sapi: akses ke Jalan Ahmad Yani (Kota) atau Jalan Hasanudin (arah Kopeng)
- di ABC: akses ke Jalan Jend. Sud (Kota), oper ke angkota Salatiga nomor 05 untuk menuju terminal angkota Tamansari via Kesambi (Kota) atau nomor 06 untuk langsung menuju terminal.
- di Terminal Tingkir: akses ke bus angkutan desa, bus dalam provinsi, maupun antar provinsi.

Tiket BRT dan Tiket Bus Semarang - Salatiga

Puji Tuhan, setelah melalui oper-oper yang cukup banyak akhirnya saya bisa juga survive sampai di rumah di Kota Salatiga dengan mengandalkan angkutan-angkutan umum. Masih banyak PR yang harus dikerjakan pihak pengelola angkutan umum, sebagai contoh seperti yang sudah saya sebutkan di atas. Akan tetapi, melalui tulisan ini saya juga ingin memberikan apresiasi kepada pihak pengelola yang sudah menjawab keisengan saya dengan cukup memuaskan dan mengantarkan saya pulang kampung dengan selamat ke Kota Salatiga. Sudah bagus, tetapi harus terus ditingkatkan!!

Untuk pembaca setia, saya rangkumkan lagi cara transportasi dari Bandara Semarang ke Kota Salatiga menggunakan angkutan umum:
- Naik BRT dari luar bandara, transit di Pemuda, naik BRT arah Ungaran, turun di Sukun
- Naik Bus Semarang - Salatiga (biasanya Semarang - Solo), turun di Salatiga di spot-spot yang sudah saya sebutkan di atas.
Lama perjalanan total sekitar 2 - 2,5 jam.

Jumat, 11 September 2015

Apresiasi untuk Kantor Kelurahan Salatiga

Beberapa hari yang lalu saya menguruskan pembuatan KTP ibu saya. Prosedur pembuatan KTP di Indonesia ternyata cukup berbelit-belit, karena harus melalui ketua RT, ketua RW, kantor kelurahan, hingga akhirnya kantor kecamatan. Saya melihat prosedur ini tidak sepenuhnya negatif karena semangat kekeluargaan dan kepedulian di kampung tetap dipertahankan, tidak seperti halnya yang terjadi dalam kehidupan pertetanggaan di kota saat ini.

Salah satu syarat dalam pembuatan KTP ibu saya ini ternyata adalah surat pernyataan bahwa KTP-nya hilang. Formulir surat pernyataan ini tidak diberikan oleh ketua RT maupun RW, sehingga sesampai di kantor kelurahan, saya diminta kembali lagi ke ketua RT dan RW untuk meminta tanda tangan dan cap beliau.

Menariknya, Kelurahan Salatiga di Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga mau menandatangani surat pernyataan itu terlebih dahulu, sehingga setelah mendapatkan tanda tangan dan cap dari ketua RT dan RW saya tidak perlu kembali ke kantor kelurahan. Saya melihat hal ini sebagai sesuatu yang positif dari Kantor Kelurahan Salatiga. Sekalipun posisinya lebih tinggi, ia mau menandatangani surat pernyataan ini untuk mempermudah birokrasi (saya tidak perlu kembali ke kantor kelurahan lagi).

Dari kebijakan orang ini, saya bisa merasakan kerinduan dan semangat untuk mempermudah birokrasi di Indonesia. Saya semakin yakin, bahwa saya tidak sendirian bermimpi tentang Indonesia. Terima kasih, Sekreatris Kelurahan Ibu Endang Budiarti dan Kantor Kelurahan Salatiga!

Jumat, 24 April 2015

I am a mutant and all of you are wildtypes..

Since mid of February I have begun experiments for my thesis. In the first week I learned how to do genotyping: how to distinguish wildtypes and mutants with a powerful tool named PCR.

As I write this blog, it's already my tenth weeks doing experiments. I learned a lot and my understanding towards wildtypes and mutants is improved. And today I've got something to share with all of you:
"How is it if wildtypes and mutants do exist on human world?"
A mutant lacking certain gene of a wildtype will show different phenotype comparing to the wildtype one..

(to be continued)

Selasa, 13 Januari 2015

Meine Zukunft ist klarer geworden!

Lieber Kristanto,

ja wir warten auf Dich! Am 16.2 gehts los! Bis Ende dieser Woche versuch ich noch Dir Literatur zum Lesen und Vorbereiten zu schicken!

Viele Grüße,


(sebut saja dia bunga, karena telah membuat hatiku malam ini berbunga-bunga ^^)

#BachelorArbeit
#Skripsi