Laman

Senin, 27 Oktober 2014

Empat Mata dan Keris Orang Jawa (Menegur dan Ditegur Orang Lain)


Eitsss, jangan salah. Empat mata yang dimaksud di sini bukanlah acara empat mata maupun bukan empat mata yang dipandu oleh Tukul Arwana.

YANG MAU MENEGUR (ATAU SERING NGOMONGIN/"NGRASANI") ORANG LAIN,
WAJIB BACA
Tidak jarang dalam hidup ini kita menjumpai peristiwa, di mana ada orang lain di sekitar kita yang berbuat tidak sesuai dengan norma-norma yang berada dalam masyarakat, maupun norma-norma yang kita jadikan pedoman dalam pribadi kita masing-masing. Peristiwa ini akan menyebabkan timbulnya yang namanya "unek-unek" dalam hati kita.

Beberapa orang mempunyai kapasitas yang cukup besar untuk menyimpan unek-unek ini, tetapi beberapa orang tidak. Satu hal yang pasti: seperti peribahasa sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit, di level tertentu orang yang mempunyai kapasitas cukup besar tadi pun tak kuasa untuk menyimpan unek-unek ini sendirian.

Orang tua, saudara, dan sahabat adalah orang-orang yang sering kita jadikan pilihan untuk mengutarakan unek-unek itu tadi. Ketika unek-unek ini disampaikan, terjadilah yang namanya curahan hati atau curhat. Setelah MelaCur (Melakukan Curhat), orang akan merasa lebih baik karena ia merasa didengarkan dan dimengerti.

Pertanyaannya: Apakah unek-unek kita selesai setelah kita melacur?

Melacur pada hakikatnya sama dengan menggosip: membicarakan orang lain di belakang, tanpa sepengetahuan orang tersebut. Seringkali gosip ternyata justru membuat masalah menjadi lebih panjang, yaitu ketika "ember" dilakukan. Curhatan ini bocor dan sampai ke telinga orang lain. Bahkan, tidak jarang "kebocoran" ini diperkaya dengan bumbu-bumbu cerita lain, sehingga cerita awal bahwa si A itu melakukan X menjadi si A itu melakukan X+, X++, hingga menjadi Y.

Seorang Romo di Paroki St. Paulus Miki Salatiga menganalogikan hal ini dengan senjata Keris milik orang Jawa.
1. Ketika dibawa, Keris ini selalu diletakkan di belakang. Inilah budaya orang Indonesia, khususnya orang Jawa. Ketika ada unek-unek, kita cenderung untuk mengutarakannya kepada orang lain (ngomongin orang di belakang). Hal ini karena orang Jawa tidak ingin berkonfrontasi langsung dengan orang lain. Padahal penyampaian unek-unek ini di belakang (tanpa sepengetahuan orang tersebut) sebenarnya adalah kejam, karena yang bersangkutan tidak diberi kesempatan untuk membela diri.
2. Keris tidak dibuat lurus seperti pedang, tetapi berkelok-kelok. "Senjata di belakang" ini ketika tertancap ke tubuh seseorang, untuk mengeluarkannya lagi akan menjadi sulit. Cerita yang diberi bumbu bermacam-macam tadi membuat masalah menjadi lebih rumit. Ketika si A mendengar cerita yang sudah menjadi Y tadi (mendengar bahwa dia "dirasani", si A malahan akan menjadi merasa difitnah, karena yang dia lakukan sebenarnya maksimal hanyalah X, dan mungkin ada alasan kenapa dia melakukan X (si A belum tentu salah). Karena merasa difitnah, si A yang tidak terima tadi tidak akan bisa menemui kita dengan kepala dingin. Akibatnya: masalah tidak selesai-selesai, malah menjadi semakin rumit.

Lihat, ngomongin orang di belakang atau "ngrasani" sebenarnya bukan cara yang "halus" untuk mengutarakan unek-unek kita bukan? 


Di Alkitab ternyata ada petunjuk, bagaimana seharusnya kita bersikap terhadap "unek-unek" ini:
Kutipan Mat. 18:15-20
"Apabila saudaramu berbuat dosa, tegurlah dia di bawah empat mata"
"Jika ia tidak mendengarkan engkau, bawalah seorang atau dua orang lain, supaya atas keterangan dua atau tiga orang saksi, perkara itu tidak disangsikan"
"Jika ia tidak mau mendengarkan mereka, sampaikanlah soalnya kepada jemaat"


Urutan-urutannya jelas. Apabila kita mempunyai unek-unek, hal yang paling tepat kita lakukan adalah untuk mengutarakan unek-unek itu langsung kepada orangnya. Konfrontasikanlah secara langsung, tetapi tetap dengan semangat "ini kritik yang membangun, akan menjadikannya pribadi yang lebih baik".

Ada 2 kemungkinan kenapa orang berbuat tidak sesuai norma yang berlaku:
1. Ketidaktahuan
2. Tahu, tapi ndableg (bandel)

Syukur, kalau orang itu ternyata hanya belum tahu. Dengan diberi tahu, dia akan segera bisa menyesuaikan diri.
Tetapi apabila orang itu masuk ke kategori yang kedua, bukannya minta maaf tetapi malah marah-marah tidak terima: tidak masalah. Semuanya memang butuh waktu, dan memang tidak gampang untuk mengakui kesalahan. Dibutuhkan kebesaran hati dan sikap ksatria.
Jangan balik marah-marah ke dia karena dia ini koq ndableg, ingatlah peribahasa: "kalah jadi abu, menang jadi arang".

Coba deh amati dulu perkembangannya selama beberapa hari atau beberapa minggu, barangkali dia hanya gengsi untuk meminta maaf, tetapi sebenarnya dia mendengarkan teguran kita dan pelan-pelan mau berubah untuk menyesuaikan diri. Tidak masalah bukan?
Toh tujuan tercapai, tidak ada lagi yang membuat hati kita merasa terunek-unek kalau dia sudah bisa menyesuaikan diri.

Nah, apabila "sakitnya" masih berlanjut, barulah di sini kita sah (akupun mendukung) untuk tidak lagi melakukan empat mata, tetapi untuk menegur dia di hadapan orang lain.

Jadi, apakah Saudara setuju bahwa mulai dari sekarang kita akan mengurangi tindakan "nggosipin" orang?

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


YANG TIDAK MAU DITEGUR ORANG LAIN, WAJIB BACA:
Aku pribadi menilai bahwa peribahasa "kuman di seberang lautan tampak, tetapi gajah di pelupuk mata tidak tampak" adalah benar. Tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa Saudara mempunyai kemampuan lebih, yaitu bisa menilai diri sendiri dengan sangat baik dan Saudara tahu bahwa Saudara tidak layak ditegur oleh orang lain karena selama ini sudah menjalankan segala sesuatunya dengan sebaik-baiknya.

Pertanyaannya: Kalau kita ditegur secara empat mata (sesuai cara di atas), apakah itu akan merendahkan harga diri Saudara?

Menurutku koq tidak. Teguran yang diberikan oleh orang lain adalah bukti bahwa orang itu peduli dan sayang terhadap kita. Dengan ditegurnya Saudara secara empat mata, itu berarti ia ingin menjaga harga diri Anda, bukan merendahkan. Ia ingin Saudara berubah menjadi pribadi yang lebih baik.

Cobalah tetap dengarkan, karena dengan mendengarkan sebenarnya Saudara berkesempatan untuk mendapatkan informasi baru. Apabila yang ia sampaikan benar dan Saudara ternyata menyadari bahwa Saudara ada sedikit kesalahan, Saudara juga tidak harus mentah-mentah mengakui kesalahan koq (akupun menyarankan demikian). Hanya saja, kali ini cara berpikir Saudara telah diperkaya dengan mengetahui bagaimana pandangan orang lain terhadap Saudara. Dan akhirnya, adalah hak Saudara sepenuhnya untuk menentukan keputusan final apakah untuk mengikuti nasihatnya, tidak mengikuti, atau mencari alternatif ketiga yang mungkin lebih baik daripada keduanya.

Jadi, apakah Saudara mau mencoba mendengarkan dan memahami teguran dari orang lain?


Semoga tulisan di atas bermanfaat, untuk Indonesia yang lebih baik!