Laman

Minggu, 02 Mei 2010

Budaya sebagai Benteng Pertahanan Bangsa

Sebuah ajang kompetisi internasional tentunya diikuti oleh banyak peserta yang berasal dari berbagai negara. Di dalam ajang itu tentunya interaksi antara peserta negara satu dengan peserta dari negara lainnya tak dapat dielakkan. Pernah, di dalam suatu ajang tersebut, teman saya yang kebetulan ikut berpartisipasi, ditanyai oleh peserta dari negara lain, “Siapa namamu? Dan dari mana asalmu?”, dalam Bahasa Inggris. “Andra, Indonesia”, jawab Andra, teman saya itu.

Saya yakin, pertanyaan itu adalah pertanyaan yang mudah dijawab oleh siapapun. Akan tetapi, jika di dalam situasi itu kita ditanya, “Indonesia? Apa yang terkenal dari Indonesia?”. Itu pertanyaan sukar. Spontan, kita akan berpikir. Kehidupan politiknyakah? Apakah perkembangan perekonomiannya? Ataukah kemajuan pendidikannya?
Tampaknya tak satupun dari bidang-bidang di atas yang menjadi jawabannya. Tahukah Saudara jawabannya? Budaya.

Indonesia adalah negara majemuk, yang terdiri atas lebih dari 100 suku bangsa yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Setiap suku memiliki budaya dan adat-istiadat yang khas masing-masing daerah. Budaya yang dimiliki oleh setiap suku itu meliputi lagu daerah, alat musik daerah, kesenian daerah, makanan tradisional, cerita adat, tarian adat, senjata adat, rumah adat, hingga upacara adat dengan segenap tradisinya. Kesemuanya itu bukan hanya berupa harta kebendaan, tetapi juga memiliki nilai-nilai luhur yang diwariskan secara turun-temurun oleh para leluhur.

Sebagai bangsa yang majemuk, tentunya tak jarang bangsa ini dihadapkan pada konflik internal yang terjadi di antara suku-sukunya. Akan tetapi, dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika yang terkandung dalam Pancasila, bangsa ini tetap mampu bersatu dengan menghormati setiap perbedaan yang ada sebagai suatu hal yang dapat memperkaya khazanah kebudayaan bangsa.

Dengan demikian, bangsa Indonesia adalah bangsa yang unik, satu-satunya bangsa yang tetap eksis di tengah keanekaragaman yang ada seingga memiliki potensi wisata budaya yang hampir tak terbatas. Tak cukup 1 hari kiranya untuk mengenal dan mempelajari keseluruhan budaya yang dimiliki oleh 1 suku saja. Lebih-lebih lagi, budaya itu bersifat dinamis, artinya akan selalu berkembang mengikuti arus perubahan zaman dari waktu ke waktu.

Akan tetapi, pada abad ke-21 ini muncul ancaman baru bagi bangsa Indonesia, berupa cepatnya laju arus globalisasi ke seluruh penjuru dunia. Ditambah lagi dengan pesatnya perkembangan dunia teknologi informasi, menjadikan era globalisasi ini makin pasti akan segera tiba. Kini, jarak yang jauh akan diperdekat, waktu yang panjang akan diperpendek, dan dunia global yang luas ini hanya akan menjadi sebuah kampung global yang kecil, di mana orang-orang di seluruh dunia dapat berinteraksi secara bebas dengan kemudahan sistem transportasi dan komunikasi yang ada.

Bangsa Indonesia pun tak bisa mengelak dari ancaman ini. Era globalisasi adalah suatu konsekuensi logis dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin marak pada abad modern ini. Negara yang bisa bertahan, hanyalah negara yang bangsanya sudah benar-benar siap menghadapi arus ini. Satu hal yang menjadi pertanyaan bagi kita semua, sudah siapkah bangsa Indonesia menghadapi arus globalisasi ini?

Belajar dari peristiwa sejarah beberapa puluh tahun yang lalu, masuknya paham liberalisme yang diwujudkan dalam kebijakan glasnost dan perestroika di Negara Uni Soviet, ternyata justru merobohkan negara adi kuasa itu karena ketidaksiapan bangsanya menghadapi paham kebebasan itu. Jati diri “bagi rata, sama rasa” yang telah melekat dalam diri masyarakat Uni Soviet tentunya tak bisa memberikan toleransi terhadap paham “yang kuat, yang berkuasa” seperti itu. Uni Soviet akhirnya cerai-berai.

Ya, demikian pulalah ancaman yang dapat ditimbulkan oleh arus globalisasi ini. Arus globalisasi pada kenyataanya menyimpan muatan politik keuntungan negara-negara maju semata. Mengapa? Sebab, masih terjadi kesenjangan kondisi perekonomian yang tajam antara negara maju dan negara berkembang. Dengan demikian, persaingan ekonomi yang sehat tidak akan pernah tercipta dengan adanya arus globalisasi ini, sebab bagaimanapun juga, negara dunia ketiga masih terus bergantung pada negara-negara maju dalam kehidupan perekonomiannya.

Apabila arus globalisasi ini tak kita siasati dengan serius, maka bukanlah hal yang tidak mungkin apabila bangsa ini kemudian bernasib sama dengan Negara Uni Soviet. Satu-satunya harapan yang masih tersisa untuk menyelamatkan bangsa Indonesia adalah budaya.

Sejak dulu, Pulau Bali mampu menjadi objek wisata yang selalu ramai dikunjungi oleh wisatawan mancanegara hingga menjadi andalan devisa Indonesia di sektor pariwisata. Dengan demikian, bangsa asing sebenarnya telah lama bersentuhan dengan masyarakat Bali. Akan tetapi, masyarakat Bali hingga kini tetap memiliki budaya mereka, seakan-akan tanpa terpengaruh sedikitpun oleh pengaruh budaya asing yang mereka bawa. Hal inilah rahasia masyarakat Bali, yang menjadi daya tarik pulau ini terus menerus oleh wisatawan asing. Masyarakat Bali punya budaya khas, yang justru mereka tunjukkan ke dunia, di samping keindahan panorama alamnya.

Bandingkan dengan apa yang terjadi di kota-kota besar di pulau lainnya. Dengan kecanggihan teknologi yang ada, pada umumnya masyarakat Indonesia justru terpengaruh pada kehidupan bangsa barat. Mereka justru berlomba-lomba meniru budaya bangsa barat yang dianggap lebih maju daripada bangsa sendiri. Praktik “fotocopy” ini antara lain terlihat dari orientasi hidup, gaya berpakaian dan properti yang dimiliki, dan kreasi seni yang dianut.

1. Orientasi Hidup
Nilai-nilai luhur yang harus senantiasa diperjuangkan oleh masyarakat Indonesia semestinya terkandung dalam kelima sila Pancasila, di antaranya adalah kemanusiaan dan keadilan. Namun, masyarakat zaman sekarang cenderung berorientasi untuk mencari uang sebanyak-banyaknya, sekalipun mungkin semua itu menimbulkan penderitaan bagi kaum lemah dan tersingkir. Misalnya, penggusuran desa untuk pendirian pabrik.

2. Gaya Berpakaian dan Properti yang Dimiliki
Orang timur terkenal akan kesopanannya. Akan tetapi, pada zaman sekarang, pakaian-pakaian “kurang bahan” yang mempertontonkan aurat manusia justru menjadi pakaian yang menjadi tren, terutama di kalangan remaja. Tren pemakaian celana dengan cara hipster (di bawah pinggang) jelas bukan budaya asli Indonesia. Anehnya, fenomena ini justru sering dilakukan oleh remaja, dengan alasan lebih keren.
Mempunyai ponsel, menjadi suatu gengsi bagi masyarakat Indonesia. Ponsel ini telah menggeser dunia komunikasi mengarah menuju dunia maya (virtual) sehingga menjadikan orang kini memiliki kepekaan sosial yang rendah terhadap sesama dan lingkungannya. Misalnya, remaja yang tinggal di perumahan, kini hampir tak mengenal siapa-siapa yang tinggal di samping kanan-kiri rumahnya, sebab asyik bermain ponsel dan facebook.

3. Kreasi Seni yang Dianut
Dulu, pertunjukan seni wayang dan tarian adat menjadi hiburan yang sangat meriah di kalangan masyarakat Indonesia. Akan tetapi, remaja sekarang lebih memilih pertunjukkan band dan break dance sebagai kreasi seni yang populer dalam suatu kegiatan pentas seni. Seni tradisional justru dianggap ketinggalan zaman, rumit dan sulit untuk dipelajari.

Cerita adat juga terimbas. Kisah Captain Tsubasa justru lebih populer daripada cerita Keong Mas atau Aji Saka di pulau Jawa misalnya.

Dari contoh-contoh di atas, terlihat jelas bahwa kepribadian bangsa telah terkikis, bahkan perlahan pudar menghadapi arus globalisasi yang muncul. Jika kita terus-menerus meniru mereka, kapan kita dapat mengungguli mereka? Ketahuilah, apa yang sedang dilakukan oleh negara-negara maju adalah penjajahan terhadap jati diri bangsa seperti ini. Perang modern yang kasat mata ini hanya bisa dibentengi dengan rasa kebangsaan dan semangat yang tinggi untuk mempertahankan budaya bangsa.

Mari kita belajar dari masyarakat Bali. Cara paling ampuh untuk mengatasi pengaruh budaya asing adalah dengan menunjukkan bahwa kita mempunyai budaya yang tak kalah dengan bangsa lain. Klaim Malaysia terhadap kesenian-kesenian milik Indonesia asli sebagai kebudayaan mereka, sebenarnya tak harus selalu menjadi sesuatu yang buruk bagi kita. Justru dengan klaim itulah, kita diingatkan kembali untuk merawat, melestarikan, dan justru menunjukkan kesenian itu apabila kitalah empunya kesenian itu.

Untuk menunjukkan budaya kita kepada bangsa asing, hal yang pertama kali harus kita lakukan adalah untuk mempercayai kebenaran Pancasila, yang sebenarnya digali dari nilai-nilai luhur budaya bangsa dari zaman dahulu. Jadi, tak ada lagi alasan untuk malu menunjukkan budaya bangsa ini terhadap bangsa lain, sebab inilah kekayaan bangsa kita.

Cara untuk menunjukkan budaya ini, misalnya
1. Menanamkan nilai-nilai luhur budaya kepada generasi penerus sedini mungkin. Mungkin bisa dalam bentuk cerita-cerita adat yang dikisahkan sebagai dongeng sebelum tidur kepada anak.

2. Memanfaatkan perkembangan teknologi informasi untuk siaran budaya. Menampilkan sinetron-sinetron atau film anak dari luar negeri perlu dibatasi. Menampilkan pertunjukan seni tradisional dan cerita-cerita adat yang dikemas dalam bentuk menarik dan dinamis akan sangat membantu penanaman nilai-nilai luhur budaya bangsa terhadap anak bangsa.

3. Memberikan pelajaran kesenian daerah dengan jam teori dan praktik yang memadahi di sekolah, hingga mampu memberikan pendidikan karakter bangsa di samping kecerdasan otak.

4. Tidak ragu untuk tetap teguh mengusung budaya bangsa kita di pentas dunia, justru memperkenalkan kepada dunia bahwa kebudayaan yang mempunyai nilai-nilai luhur ini hanya dapat ditemukan di Indonesia, tidak di negara lain.

Keunggulan budaya kitalah yang menjadikan bangsa ini unik, menarik wisatawan asing, sehingga siap berkompetisi di dalam era globalisasi hari ini dan kelak.

Sekilas, pekerjaan ini tampak berat. Ya, itu jika kita harus mengemban tugas ini seorang diri. Lihatlah teman di sekitar kita, di kelas, teman satu angkatan, di sekolah-sekolah lain, dan di seluruh pelosok Indonesia. Kita semua, generasi muda penerus cita-cita bangsa, tentu tak akan membiarkan jati diri kita digerogoti oleh para penjajah bukan? Pepatah mengatakan, ”Jangan pernah bertanya apa yang diberikan negara kepadamu, tetapi bertanyalah apa yang dapat kamu berikan untuk negaramu”. Bersama, kita bisa!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar